Blogger news

Pages

Sabtu, 27 April 2013

sejarah perkembangan ekonomi islam

PEMBAHASAN

SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM

Pemikiran ekonomi Islam diawali sejak Muhammad saw dipilih sebagai seorang Rasul (utusan Allah). Rasulullah saw mengeluarkan sejumlah kebijakan yang menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan, selain masalah hukum (fiqh’), politik (siyasah), juga masalah perniagaan atau ekonomi (muamalah). Masalah-masalah ekonomi umat menjadi perhatian Rasulullah saw, karena masalah ekonomi merupakan pilar penyangga keimanan yang haru diperhatikan. Sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah bersabda, “kemiskinan membawa orang kepada kekafiran”. Maka upaya mengentas kemiskinan merupakan bagian dari kebijakan-kebijakan sosial yang dikeluarkan Rasulullah saw. Selanjutnya, kebijakan-kebijakan Rosululloh SAW menjadikan pedoman oleh para Khalifah sebagai penggantinyadalam memutuskan masalah-masalah ekonomi. Al-Qur’an dan Al-Hadist digunakan sebagai dasar teori ekonomi oleh para khalifah juga digunakan oleh para pengikutnya dalam menata kehidupan ekonomi negara.

Secara umum perkembangan ekonomi Islam dibagi dalam 4 periode, antara lain:

1.      Periode Pertama/Masa Pertumbuhan (masa awal Islam – 450 H/1058 M)

Masa pertumbuhan terjadi pada awal masa berdirinya negara Islam di Madinah. Meskipun belum dikatakan sempurna sebagai sebuah studi ekonomi, tapi masa itu merupakan benih bagi tonggak-tonggak timbulnya dasar ekonomi Islam. Secara amaliyah, segala dasar dan praktek ekonomi Islam sebagai sebuah sistem telah dipraktekkan pada masa itu, tentunya dengan kondisi yang amat sederhana sesuai dengan masanya. Lembaga keuangan seperti bank dan perusahan besar (PT) tentunya belum ditemukan. Namun demikian lembaga moneter di tingkat pemerintahan telah ada, yaitu berupa Baitul Mal. Perusahaan (PT) pun telah dipaktekkan dalam skala kecil dalam bentuk musyarakah.

Pada masa ini pula, Pemikiran ekonomi dirintis oleh para fuqaha, sufi dan filosof. Pemikiran fuqaha terfokus pada apa manfaat (maslahah) sesuatu yang dianjurkan dan apa kerugian (mafsadah) bila melaksanakan sesuatu yang dilarang agama, bersifat normatif berwawasan positif dan cenderung mikroekonomi. Kontribusi para sufi terletak pada keajegannya dalam mendorong kemitraan yang saling menguntungkan, tidak rakus dalam memanfaatkan kesempatan yang diberikan Allah swt dan secara tetap menolak penempatan tuntutan kekayaan dunia yang terlalu tinggi, bersifat normatif berwawasan positif dan cenderung mikroekonomi. Fokus pembahasan filosof tertuju pada konsep kebahagiaan (sa’adah) dalam arti luas, pendekatannya global dan rasional serta metodologinya syarat dengan analisis ekonomi positif dan cenderung makroekonomi.

Pada periode ini, ada bebrapa tokoh dan fokus pemikirannya, antara lain:

1.      Zaid bin Ali (80 H/738 M)

-          Keabsahan jual beli secara tangguh dengan harga yang lebih tinggi daripada jual beli secara tunai.

2.      Abu Hanifah (w. 150 H/767 M)

-          Jual beli salam

-          pembelaan hak-hak ekonomi kaum lemah

3.      Abu Yusuf (182 H/798 M)

-          keuangan publik

-          pembentukan dan pengendalian harta

4.      Asy-Syaibani (189 H/804 M)

-           konsep kerja

-          Perilaku konsumen dan produsen

-          Spesialisasi dan distribusi pekerjaan

5.      Ibn Miskawaih (421 H/1030 M)

-          Konsep uang

2.      Periode Kedua/Masa Keemasan (450-850 H/1058-1446 M)

Setelah terjadi beberapa perkembangan dalam kegiatan ekonomi, pada abad ke 2 Hijriyah para ulama mulai meletakkan kaidah-kaidah bagi dibangunnya sistem ekonomi Islam di sebuah negara atau pemerintahan. Kaidah-kaidah ini mencakup cara-cara bertransaksi (akad), pengharaman riba, penentuan harga, hukum syarikah (PT), pengaturan pasar dan lain sebagainya. Namun kaidah-kaidah yang telah disusun ini masih berupa pasal-pasal yang tercecer dalam buku-buku fiqih dan belum menjadi sebuah buku dengan judul ekomomi islam.

Beberapa karya fiqh yang mengetengahkan persoalan ekonomi diantaranya, Fiqh Mazhab Maliki, Fiqh Mazhab Hanafi, Fiqh Mazhab Syafi’i, dan Fiqh Mazhab Hambali.

Dari kitab-kitab tersebut, bila dikaji, maka akan ditemukan banyak hal tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan ekonomi Islam, baik sebagai sebuah sistem maupun keterangan tentang solusi Islam bagi problem-problem ekonomi pada masa itu.

Ibnu Hazm dalam kitabnya “Al-Muhalla” misalnya, memberi penjelasan tentang kewajiban negara menjamin kesejahteraan minimal bagi setiap warga mengara. Konsep ini telah melampaui pemikiran ahli ekonomi saat ini. Demikian pula halnya dengan karya-karya fiqih lain, ia telah meletakkan konsep-konsep ekonomi Islam, seperti prinsip kebebasan dan batasan berekonomi, seberapa jauh intervensi negara dalam kegiatan roda ekonomi, konsep pemilikan swasta (pribadi) dan pemilikan umum dan lain sebagainya.

Periode kedua ini juga dikenal sebagai fase cemerlang karena meninggalkan warisan inteletual yang sangat kaya. Realitas politik ditandai oleh dua hal, yakni :

a.       Disintregasi pusat kekuasaan Dinasti Abbasiyah dan terbaginya kerajaan ke dalam beberapa kekuatan regional yang mayoritas didasaarkan pada kekuatan daripada kehendak rakyat.

b.      Merebaknya korupsi di kalangan para penguasa diiringi dengan dedikasi moral di kalangan masyarakat yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan yang semakin lebar antara si kaya dengan si miskin. Pada fase ini wilayah kekuasaan Islam yang terbentang dari Barat sampai Timur melahirkan berbagai pusat kegiatan intelektual.

Di penghujung abad 14 dan 15 M merupakan titik awal bagi adanya aliran keilmiahan dalam bidang ekonomi modern. Bahkan Syaikh Mahmud Syabanah, mantan wakil rektor Al-Azhar menyatakan bahwa kitab “Mukaddimah” karya Ibnu Kholdun yang terbit pada tahun 784 H atau sekitar abad 13 hingga 14 M adalah bentuk karya yang mirip dengan karya Adam Smith. Bahkan dalam karyanya, ibnu Kholdun juga menulis tentang asas-asas dan berkembangnya peradaban, produktifitas sumber-sumber penghasilan, bentu-bentuk kegiatan ekonomi, teori harga, migrasi penduduk dan lain-lain. Sehingga isi kedua karya ini hampir sama. Perbedaannya hanya terletak pada kondisi dan lingkungan.

Beberapa tokoh dan fokus pemikiran pada periode ini, antara lain:

1.      Al-Ghazali (505 H/1111 M)

-          Perilaku konsumen

-          Evolusi pasar

-          Konsep uang

-          Pajak

2.      Ibnu Taimiyah (728 H/1328 M)

-          Konsep harga

-          Hisbah

-          Keuangan negara

-          Konsep uang

3.      Ibnu Khaldun (808 H/1406 M)

-          Keuangan publik

-          Konsep harga

-          Konsep uang

-          Teori produksi

3.      Periode Ketiga/Masa Kemunduran (850-1350 H/1446-1932 H)

Periode ketiga ini dikenal sebagai fase tertutupnya pintu ijtihad (independent judgment). Para fukaha hanya menuliskan kembali catatan-catatan para pendahulunya dan mengeluarkan fatwa yang sesuai dengan aturan standar bagi masing-masing mazhab. Gerakan pembaharu baru timbul pada dua abad terakhir yang menyeru untuk kembali kepada Alquran dan al-Hadis sebagai pedoman hidup.

Dengan ditutupnya opintu ijihad, maka dalam menghadapi perubahan sosial, prinsip-prinsip Islam pada umumnya dan prinsip ekonomi khususnya, tidak berfungsi secara optimal, karena para ulama seakan tidak siap dan berani untuk langsung menelaah kembali sumber asli tasyri’ dalam menjawab perubahan-perubahan tersebut. Mereka lebih suka merujuk pada pendapat imam-imam mazdhab terdahulu dalam mengistimbat suatu hukum, sehingga ilmu-ilmu keislaman lebih bersifat pengulangan dari pada bersifat penemuan.

Tradisi taklid ini menimbulkan stagnasi (kejumudan) dalam mediscover ilmu-ilmu baru,khususnya dalam menjawab hajat manusia di bidang ekonomi. Padahal ijtihad adalah sumber kedua Islam setelah al-Quran dan as-Sunnah. Dan pukulan telak terhadap Islam adalah ketika ditutupnya pintu ijtihad tersebut.

Tokoh-tokoh periode ketiga ini diantaranya:

1.      Shah waliallah (1176 H/1762 M)

2.      Jamaluddin al-Afhgani (1315 H/1897 M)

3.      Muhammad Abduh (1320 H/1905 M)

4.      Muhammad Iqbal (1357 H/1938 M)

4.      Periode Kontemporer/Masa Kesadaran Kembali (1930-Sekarang)

Era tahun 1930-an merupakan masa kebangkitan kembali intelektualitas di dunia Islam. Kemerdekaan negara-negara muslim dari kolonialisme Barat turut mendorong semangat para sarjana muslim dalam mengembangkan pemikirannya. Zarqa (1992) mengklasifikasikan kontributor pemikiran ekonomi berasal dari: (1) ahli syariah Islam, (2) ahli ekonomi  konvensional, dan (3) ahli syariah Islam sekaligus ekonomi konvensional.

Ahmad, Khurshid (1985 h. 9-11) membagi perkembangan  pemikiran ekonomi Islam kontemporer menjadi 4 fase sebagaimana berikut:

Fase Pertama

Pada pertengahan 1930-an  banyak muncul analisis – analisis  masalah ekonomi sosial dari sudut syariah Islam  sebagai wujud kepedulian teradap dunia Islam yang secara umum dikuasai oleh negara-negara Barat.  Meskipun kebanyakan analisis ini berasal dari para ulama  yang tidak memiliki pendidikan formal  bidang ekonomi, namun  langkah mereka telah membuka kesadaran baru tentang perlunya perhatian yang serius terhadap masalah sosial ekonomi.

Berbeda dengan para modernis dan apologist yang umum berupaya untuk menginterpretasikan ajaran Islam sedemikian rupa sehingga sesuai dengan praktek ekonomi modern, para ulama ini   secara berani justru menegaskan  kembali posisi Islam sebagai comperehensive way of life,  dan mendorong untuk suatu perombakan  tatanan ekonomi dunia yang ada menuju tatatan yang lebih Islami.  Meskipun pemikiran-pemikiran ini masih banyak membahas  hal-hal elementer dan  dalam lingkup yang terbatas, namun telah menandai sebuah kebangkitan pemikiran Islam modern.

Fase Kedua

Pada  sekitar tahun 1970-an  banyak ekonom muslim yang berjuang keras mengembangkan aspek tertentu dari ilmu ekonomi Islam , terutama dari sisi moneter.  Mereka banyak mengetengahkan pembahasan tentang bunga dan riba dan mulai menawarkan alternatif pengganti bunga.  Kerangka kerja suatu perbankang yang bebas  bunga mendapat bahasan yang komperehensif.

 Berbagai pertemuan internasional untuk pembahasan ekonomi Islam diselenggarakan untuk mempercepat akselerasi penmgembangan dan memperdalam cakupan bahasan ekonomi Islam.  Konferensi internasional pertama diadakan di Mekkah, Saudi Arabia pada tahun 1976, disusul  Konferensi Internasional tentang Islam dan Tata Ekonomi Internasional Baru di London, Inggris pada tahun 1977, dua seminar Ilmu Ekonomi Fiskal dan Moneter Islam di Mekkah (1978) dan di Islamabad, Pakistan (1981), Konferensi tentang  Perbankan Islam dan Strategi Kerjasama Ekonomi di Baden-baden Jerman Barat (1982), serta  Konferensi Internasional Kedua tentang  Ekonomi Islam di Islamabad (1983).  Pertemuan yang terakhir  ini secara rutin tetap berlangsung (2001) dengan tuan rumah negara-negara Islam.  Sejak itu banyak karya tulis  yang dihasilkan dalam  wujud makalah, jurnal ilmiah hingga buku, baik

Fase Ketiga

Perkembangan  pemikiran ekonomi Islam selama satu setengah dekade terakhir menandai fase ketiga di mana banyak berisi  upaya-upaya praktikal-operasional  bagi realisasi  perbankan tanpa bunga, baik di sektor publik maupun swasta.  Bank-bank tanpa bunga banyak didirikan, baik di negara-negara muslim maupun di negara-negara non muslim, misalnya  di Eropa dan Amerika. Dengan berbagai kelemahan dan kekurangan atas konsep bank tanpa bunga  yang digagas oleh para ekonom muslim –dan karenannya terus disempurnakan- langkah ini menunjukkan kekuatan riil dan keniscayaan dari sebuah teori keuangan tanpa bunga.

Fase Keempat

Pada saat ini perkembangan ekonomi Islam sedang menuju kepada sebuah pembahasan yang lebih integral dan komperehensif terhadap teori dan praktek ekonomi Islam. Adanya berbagai keguncangan dalam sistem ekonomi konvensional, yaitu kapitalisme dan sosialisme, menjadi sebuah tantangan sekaligus peluang bagi implementasi ekonomi Islam.

Dari sisi teori dan konsep yang terpenting adalah  membangun sebuah kerangka ilmu ekonomi yang menyeluruh dan menyatu, baik dari aspek mikro maupun makro ekonomi. Berbagai metode ilmiah yang baku banyak diaplikasikan di sini. Dari sisi praktikal adalah bagaimana  kinerja lembaga ekonomi yang telah ada (misalnya bank tanpa bunga) dapat berjalan baik dengan menunjukkan segala keunggulannya, serta perlunya upaya yang berkesinambungan untuk mengaplikasikan  teori ekonomi Islam.  Hal-hal inilah yang banyak menjadi perhatian dari para ekonom muslim saat ini. Ekonomi syariah berkembang bersama Islam itu sendiri, meski demikian perkembangan keilmuannya mengalami proses yang berbeda.

TOKOH-TOKOH PEMIKIR EKONOMI ISLAM

    Zayd bin Ali (699 – 738)

Zayd bin Ali adalah Salah satu ahli fiqih yang terkenal di Madinah. Zaid bin Ali memperbolehkan penjualan suatu komiditi secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dari harga tunai. Beliau tidak memperbolehkan harga yang ditangguhkan pembayannya lebih tinggi dari pembayaran tunai, sebagaimana halnya penambahan pembayaran dalam penundaan pengembalian pinjaman. Setiap penambahan terhadap penundaan pembayaran adalah riba. Prinsipnya jenis transakai barang atau jasa yang halal kalau didasarkan atas suka sama suka diperbolehkan.

Sebagaiman firman Alloh dalam surat An-Nisaa’( 4) ayat 29 :” Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka dia ntara kamu “.

Dalam kegiatan perniagaan yang didasarkan pada penjualan kredit, perlu diperhatikan bahwa para pedagang mendapatkan untung darinya, pendapatan seperti itu adalah bagian dari perniagaan bukan riba.

2.      Abu Hanifa (80-150 H /699 –767 M)

Abu Hanifa menyumbangkan beberapa konsep ekonomi, saah satnya adalah salam, yaitu suatu bentuk transaksi dimana antara pihak penjual dan pembeli sepakat bila barang dikirimkan setelah dibayar secara tunai pada waktu kontrak disepakati. Abu Hanifa meragukan keabsahan kontrak tersebut yang mengarah pada perselisihan. Beliau mencoba menghilangkan perselisihan ini dengan merinci lebih khusus apa yang harus diketahui dan dinyatakan dengan jelas di dalam kontrak. Seperti jenis komoditi, mutu dan kuantitas serta tanggal dan tempat pengiriman. Beliau memberikan persyaratan bahwa komoditi tersebut harus tersedia di pasar selama waktu kontrak dan tanggal pengiriman. Jadi kedua pihak mengetahui bahwa pengiriman tersebut adalah mungkin.

Salah satu kebijakan Abu Hanifah adalah menghilagkan ambiguitas dan perselisihan dalam masalah transaksi, hal ini merupakan salah satu tujuan syariah dalam hubungan dengan jual beli. Abu Hanifah sangat memperhatikan pada orang-orang lemah. Beliau tidak memperbolehkan pembagian hasil panen (muzara’ah) dari penggarap kepada pemilik tanah dalam kasus tananh tidak menghasilkan apapun. Hal ini untuk melindungi para penggarap yang umumnya orang lemah.

Beberapa karya yang dihasilkan antara lain : Al-Makharif fi Al-Fiqh, Al-Musnad, sebuah kitab hadist yang dikumpulkan oleh para muridnya dan Al-Fiqh Al-Akbar.

3.      Abu Yusuf (113 – 182H/731 – 798M)

Abu Yusuf terkenal sebagai Qadi ( hakim ). Diantara kitab-kitab Abu Yusuf yang paling terkenal adalah kitab Al-Kharaj. Kitab ini ditulis atas permintaan khalifah Harun Ar-Rasyid untuk pedoman dalam menghimpun pemasukan atau pendapatan negara dari kharaj, ushr, zakat, dan jizyah. Kitab ini dapat digolongkan sebagai public finance dalam pengertian ekonomi modern.

Menurut Abu Yusuf, sistem ekonomi Islam menjelaskan prinsip mekanisme pasar dengan memberikan kebebasan yang optimal bagi para pelaku di dalamnya yaitu produsen dan konsumen. Jika karena suatu hal selain monopoli, penimbunan atau aksi sepihak yang itdak wajar dari produsen terjadi karena kenaikan harga, maka pemerintah tidak dapat melakukan intervensi dengan mematok harga. Penetuan harga sepenuhnya harga sepenuhnya diperankan oleh kekuatan permintaan dan penawaran dalam ekonomi.

Selain Al-Kharaj, beliau menulis Al-Jawami, buku yang sngaja ditulis untuk Yahya bin Khalid, selain itu juga menyusun Usul Fiqh Hanafiah ( data-data fatwa hukum yang disepakati Imam Hanafiah bersama murid-muridnya).

4.      Al-Ghazali (450 – 505H/ 1058 –1111M)

Al-Ghazali lahir 1058M di kota kecil Khorasan bernama Toos. Bagi Ghazali pasar merupakan bagian dari “keteraturan alami”, secara rinci beliau juga menerangkan bagaimana evolusi terciptanya pasar. Al-Ghazali juga mengatakan bahwa kebutuhan hidup manusia terdiri dari 3, yaitu kebutuhan dasar (darruriyah), kebutuhan sekunder (hajiat), dan kebutuhan mewah (takhsiniyyat).

Teori hierarki kebutuhan ini kemudian “diambil” oleh William Nassau Senior yang menyatkan bahwa kebutuhan manusia terdiri dari kebutuhan dasar (necessity), sekunder (decency), dan kebutuhan tersier (luxury). Beliau juga menyatakan tentang tujuan utama dan penerapan syariah adalah masalah religi atau agama, kehidupan, pemikiran, keturunan, dan harta kekayaan yang bersangkutan dengan masalah ekonomi.

Beliau juga memperkenalkan mengenai peranan uang dalam ekonomi (ditulis dalam kitab Ihya’ Ulum Din). Menurut beliau , manusia memerlukan uang sebagai alat perantara / pertukaran (medium exchange) untuk membeli barang. Fungsi ini kemudian dijabarkan kembali oleh Ibnu Taimiyah dengan menambahkan 1 funsi tambahan, yakni bahwa uang juga berfungsi sebagai alat untuk menetukan nilai (measurement of value )
Karya yang ditulisnya antara lain yang cukup monumental : Alajwibah Al-Ghazaliyah fi Al-Masa’il Al-Ukhrawiyah, Ihya’ Ulum Din, Al-Adab fi Al-Dina, dan lain sebagainya.

5.      Ibnu Rusyd (1198)

Dikenal sebagai Aveorrus di Barat. Beliau adalah seorang pemikir Islam yang banyak mempengaruhi pemikiran pemikir-pemikir dunia terutama Barat. Beliau menghasilkan sebuah karya yang mengungkapkan sebuah teori dengan memperkenalkan fungsi keempat dari uang ( Roger E Backhouse,2002, “The Pinguin History of Economic” ). Sebelumnya filsuf Yunani, Aristoteles menyebutkan bahwa fungsi uang ada 3, yaitu sebagai alat tukar, alat mengukur nilai dan sebagai cadangan untuk konsumsi di masa depan.

Ibnu Rusyd menambahkan fungsi keempat dari uang, yakni sebagi alat simpanan daya beli dari konsumen, yang menekankan bahwa uang dapat digunakan kapan saja oleh konsumen untuk membeli keperluan hidupnya. Ibnu Rusyd juga membantah Aristoteles tentang teori nilai uang dimana nilainya tidak boleh berubah-ubah. Ibnu Rusyd menyatakan bahwa uang tiu tidak boleh berubah-ubah karena 2 alasa, yakni pertama uang berfungsi sebagai alat untuk mengukuir nilai, maka seperti Allah SWT Yang Maha Pengukur, Allah Tidak Berubah-Ubah, maka uangpun sebagai pengukur keadaan tidak boleh berubah. Kedua uang berfungsi sebagai cadangan untuk konsumsi masa depan, maka perubahan padanya sangatlah tidak adil. Dari kedua alasan tersebut maka sesungguhnya nilai nominal uang itu harus sama dengan nilai intrinsiknya.

6.      Ibnu Taimiyah ( 661 – 728H / 1263 –1328M)

Menurut Ibnu Taimiyah naik turunnya harga bukan saja dipengaruhi oleh penawaran dan permintaan tetapi ada faktor-faktor yang lain: “Sebab naik turunnya harga di pasar bukan hanya karena adanya ketidakadilan yang disebabkan orang atau pihak tertentu, tetapi juga karena panjang singkatnya masa produksi (khalq) suatu komoditi. Jika produksi naik dan permintaan turun, maka harga di pasar akan naik, sebaliknya jika produksi turun dan permintaan naik, maka harga di pasar akan turun”.

Teori dikenal dengan “price volality” atau turun naiknya harga di pasar. Teori ini jika dikaji lebih mendalam adalah menyangkut hukum permintaan dan penawaran (supply dan demand) di pasar, yang kini justru secara ironi diakui sebagi teori yang bersal dari Barat.

Lebih jauh beliau juga memberikan penjelasan mengenai Hak Atas Kepemilikan Intelektual (HAKI) atau paten. Menurut beliau kepemilikan (property) adalah suatu kekuatan yang diberikan oleh syariah untuk memakai sebuah objek dan kekuatan itu beragam dalam macam dan kadarnya. Seorang dapat membuang / tidak memanfaatkan miliknya selama tidak bertentangan dengan syariah. Beliau membagi subjek kepemilikan menjadi 3; individu, masyarakat dan negara. Kepemilikan individu diakui dan didapatkan dari membuka dan memanfaatkan tanah, wari, membeli dan kepemilikan individu individu tidak boleh bertentang dengan kepemilikan individu tidak boleh bertentang dengan kepemilikan masyarakat dan negara .Tujuan yangyang paling utama dari kepemilikan adalah kegunaannya pada orang lain.

KESIMPULAN

Pemikiran ekonomi Islam diawali sejak Muhammad saw dipilih sebagai seorang Rasul (utusan Allah). Rasulullah saw mengeluarkan sejumlah kebijakan yang menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan, selain masalah hukum (fiqh’), politik (siyasah), juga masalah perniagaan atau ekonomi (muamalah).

 Perkembangan Ekonomi Islam di bagi menjadi 4 periode:

1.        Periode pertama/pondasi (masa awal Islam 450 H/ 1058 M)

2.        Periode kedua (450-850 H/1058-1446 M)

3.        Periode ketiga (850-1350 H/1446-1932)

4.        Periode kontemporer (1930-sekarang)

Tokoh-tokoh pemikir ekonomi islam

1.      Zaid bin Ali

2.      Abu Hanifa

3.      Abu Yusuf

4.      Al-Ghazali

5.      Ibnu Taimiyah

DAFTAR PUSTAKA

Rahardjo, Dawam.2002.Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam.Jakarta:PT. Pustaka Pelajar.

Rivai,Veithzal dan Andi Buchari.2009.Islamic Economics.Jakarta:PT. Bumi Aksara.

Zaky Al Kaaf, Abdullah.2002.Ekonomi Dalam Perspektif Islam.Bandung:CV Pustaka Setia

http://tarbiyahweekly.wordpress.com/2007/10/25/sejarah-perkembangan-ilmu-ekonomi-islam/. di unduh pada tanggal 18 september 2012

http://adityangga.wordpress.com/2010/02/11/sejarah-pemikiran-ekonomi-islam-sebuah-kapita-selekta/. Di unduh pada tanggal 18 September 2012

0 komentar:

Posting Komentar