Blogger news

Pages

Selasa, 23 April 2013

hadis ekonomi 2




TUGAS KELOMPOK

JENIS JUAL BELI
Tugas ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hadis Ekonomi 2
Dosen Pengampu: Wahyu Abdul Ja’far, M.HI



Disusun Oleh:

Fatma Asih Kurniati              1172844
Nur Inayah      
Sulis Nopen Saputri               11
                                    Sri Winarti                              11

Prodi                : Ekonomi Islam
Kelas               : E
Semester         : IV (Empat)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) JURAI SIWO METRO
2013

 


BAB I
PENDAHULUAN

A.            Latar Belakang
Dengan semakin kompleksnya masalah transaksi di kalangan umat Islam, maka Rasul memberikan tuntunan yang sangat terinci dalam masalah jual beli. Secara umum jula beli harus dilakukan dengan cara yang memenuhi syarat dan rukunnya. Salah satu rukun jual beli adalah adanya benda yang diperjualbelikan saat transaksi dilakukan. Di samping itu, bukan hanya sekedar adanya benda yang diperjualbelikan, tetapi barang yang diperjualbelikan harus jelas kualitas maupun kuantitasnya.
Laju perkembangan perekonomian saat ini, membuka peluang yang sangat besar bagi munculnya berbagai bentuk pelaksanaan jual beli. Dengan adanya sistem jual beli lewat internet misalnya, pembeli memesan barang yang diperlukan dengan hanya menyebutkan kualifikasinya saja. Penjual akan mengantarkan sesuai dengan pesanan pembeli.
Begitu juga transaksi yang dilakukan terhadap hasil pertanian, kadang penjual atau pembeli menawarkan atau menawar agar tanamannya dijual pada saat masih di batanganya atau masih belum matang. Transaksi dengan cara ini dapat menyebabkan salah satu pihak mendapatkan keuntungan yang berlipat maupun sangat merugi.
Dalam praktek juga sering terjadi pembohongan baik kualitas maupun kuantitas barang yang diperjualbelikan, dengan cara mencampur barang yang berkualitas dengan yang tidak berkualitas baik. Dapat juga dengan cara menjual barang yang tidak berkualitas baik dengan harga barang yang berkualitas baik. Atau dengan cara mengaburkan kuantitas barang, dengan ukuran (timbangan, meteran) yang tidak jelas.

B.            Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan jual beli salam?
2.      Apa yang dimaksud dengan jual beli ijon?

C.            Tujuan
1.      Untuk mengetahui tentang jual beli salam
2.      Untuk mengerahui tentang jual beli ijon



                                                               BAB II
PEMBAHASAN

Macam-macam Jual Beli
1.             Jual Beli Salam
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلٍفُونَ فِي الثَّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
Arti Hadis:
Ibn ‘Abbas menyatakan bahwa ketika Rasul datang ke Madinah, penduduk Madinah melakukan jual beli salam pada buah-buahan untuk jangka 1 atau 2 tahun. Kemudian Rasul bersabda: Siapa yang melakukan salam hendaknya melakukannya dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, sampai batas waktu tertentu.

a.      Syarah Hadis
Jual beli salam merupakan jual beli yang memiliki potensial bagi penjual untuk melakukan penipuan baik dari segi kualitas, kuantitas atau pun waktu. Oleh sebab itu, Rasul memberikan aturan khusus tentang masalah ini. Ini bertujuan agar pihak-pihak yang bertransaksi tidak saling merugikan dan untuk menghindari terjadinya sengketa antara keduanya.
Dalam hadis ini, jual beli salam merupakan model jual beli yang sudah biasa dipraktekkan oleh masyarakat Madinah sebelum islam masuk ke sana. Islam menerima model jual beli salam ini dengan syarat. Hal ini terlihat dari koreksian Islam terhadap kebiasaan orang Madinah dengan menentukan persyaratan sebagai berikut:
a.    Jelas takarannya
b.    Jelas timbangannya
c.    Jelas batas waktu penyerahan barang
Jual beli salam hukumnya sah jika dilakukan sesuai dengan memperhatikan ketentuan yang sudah disepakati pada waktu transaksi dilakukan, baik kualitas barang, kuantitas barang, harga dan waktu penyerhan barang. Meskipun dilihat dari satu aspek, barang yang diperjualbelikan tidak ada pada saat transaksi, namun pada jual beli salam, barang yang diperjualbelikan jelas baik kualitas atau pun kuantitasnya.[1]

b.      Pengertian Jual Beli Salam
            Jual beli salam atau dikenal juga dengan jual beli as Salaf ini pada dasarnya adalah jual beli dengan pembayaran di muka. Sedangkan barangnya diserahkan belakangan. Kedua pihak yang bertransaksi melakukan jual beli seperti biasa, bedanya objeknya tidak ada pada saat jual beli dilakukan dan diserahkan pada waktu yang sudah disepakati bersama. Jika diperhatikan transaksi yang ada sekarang mungkin dapat dapat disamakan dengan jual beli dengan sistem penawaran menggunakan gambar. Penjual menjelaskan spesifikasi barang yang dijualnya, dan pembeli memesan barang dengan kriteria yang sudah ditentukan atau dan disepakati bersama. kemudian penjual menyerahkan barangnya pada waktu yang sudah mereka sepakati bersama pula, sementara harga barang sudah disepakati dan dibayar di muka, pada waktu akad.

c.       Rukun dan Syarat Jual Beli Salam
Dalam jual beli salam, terdapat rukun yang harus dipenuhi, yaitu:[2]
1.      Pembeli (muslam)
2.      Penjual (muslam ilaih)
3.      Modal / uang (ra’sul maal)
4.      Barang (muslam fiih)

Sedangkan syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut:
1.      Pembayaran dilakukan dimuka (kontan)
2.      Dilakukan pada barang-barang yang memiliki kriteria jelas
3.      Penyebutan kriteria barang dilakukan saat akad dilangsungkan
4.      Penentuan tempo penyerahan barang pesanan
5.      Barang pesanan tersedia pada saat jatuh tempo
6.      Barang pesanan adalah barang yang pengadaannya dijamin pengusaha.



d.      Ketentuan Jual Beli Salam
1.         Barang yang menjadi objek salam (al-muslam fih) harus:
·      Merupakan suatu yang belum ada hanya dideskripsikan sifat-sifatnya lalu dijanjikan/dijamin untuk diadakan pada masa yang akan datang, seperti 10 ton beras thailan kualitas super, bukan barang tertentu (‘ain mu’ayyanah) yang telah ada wujudnya, sepe­­rti sapi nomor 10 milik Zaid, namun belum dimiliki penjual.
·      merupakan barang yang dijual dengan ditakar (seperti minyak), ditimbang (seperti beras), ataupun dihitung jumlah unitnya dimana masing-masing unit memiliki sifat yang relatif sama antara satu dengan yang lain (seperti buku tertentu). Maka ulama Hanafiyah mengatakan bahwa rumah tidak bisa menjadi muslam fih, karena kondisi tiap-tiap rumah berbeda-beda dan harganya tidak ditentukan dengan timbangan, takaran ataupun dihitung per satuan.
·      jumlah, berat atau takarannya harus jelas disebutkan saat transaksi.
·      jenis dan sifat barang dideskripsikan secara spesifik, terutama karakter-karakter yang mempengaruhi harganya, seperti beras rojo lele kualitas nomor satu atau salak pondoh yang berukuran besar;
·      diduga kuat bisa didapatkan oleh penjual pada waktu yang disepakati.
2.         Harga yang dibayarkan (ra’sul mal) disyaratkan harus :
·      ditentukan jenis, sifat dan besarnya pada saat transaksiapabila dengan mata uang tertentu maka cukup disebutkan jumlahnya
·      dibayar kontan saat transaksi, jika harga yang diserahkan hanya sebagian saja maka transaksi salam berlaku untuk sebagian yang dibayarkan saja
·      ra’sul mal bukan berupa barang yang bisa terjadi riba nasi’ah jika ditransaksikan dengan al-muslam fih, dengan kata lain, keduanya bukan barang yang jika ditransaksikan satu sama lain diharuskan serahterima secara langsung. Maka dari itu tidak boleh memesan emas sedangkan alat pembeliannya berupa perak, karena jual beli emas dengan perak harus langsung diserahterimakan ditempat, sehingga jual-beli salam tidak mungkin dilakukan
·      harga harus wajar, tidak boleh ada ghobn fahisy (penentuan harga yang terlalu mahal). Jika terjadi ghobn fahisy, maka pembeli boleh memilih untuk meneruskan atau membatalkan akad, namun dia tidak boleh meminta kembali selisih nilai antara harga yang disepakati dengan harga wajar.
3.    Harus ada selang waktu antara saat terjadinya akad salam dengan waktu penyerahan barang. Tanpa selang waktu, maka transaksi tidak layak disebut salam sehingga salam tidak sah.
4.    Waktu penyerahan barang harus ditetapkan secara jelas sebelum berpisah, apabila waktu penyerahannya tidak ditentukan maka transaksi salam tidak sah. Ini merupakan perkara yang disepakati.
Jika sampai waktu yang ditentukan ternyata penjual tidak berhasil mendapatkan barangnya, maka pembeli boleh memilih untuk memperpanjang tempo atau membatalkan akad. Jika memilih pembatalan maka pembeli hanya berhak mengambil harga yang telah dia bayarkan, tidak boleh mengambil denda karena akan terjadi riba dan tidak boleh minta diganti dengan barang lain karena hal itu membutuhkan akad yang terpisah.
Jika barang yang didapatkan tidak sesuai dengan kriteria yang dideskripsikan maka transaksi batal.Jika barang yang berhasil didapatkan penjual masih kurang dari jumlah yang disepakati maka pembeli berhak membatalkan akad secara keseluruhan atau pun menerima barang yang ada seraya membatalkan transaksi bagi barang yang belum ada. Jika ada cacat pada barang yang diserahkan maka pembeli boleh memilih untuk meminta ganti atau menerima barang tersebut.

e.      Hikmah Jual Beli Salam
Di antara hikmah-hikmah diharuskan jual beli secara salam ialah :[3]
·        Untuk memberi kemudahan kepada anggota masyarakat menjalankan urusan perniagaan.
·        Untuk menanamkan perasaan tolong menolong di antara satu sama lain.

2.             Jual Beli Ijon
Untuk menjamin adanya prinsip ‘an taradhin dalam jual beli, maka dalam transaksi objek yang diperjual belikan harus sudah jelas kualitas dan kuantitasnya. Dengan demikian, barang yang diperjualbelikan sudah saatnya dipetik dan dijual. Hal ini agar penjual atau pembeli tidak akan merasa kecewa di kemudian hari.
Dalam realita di lapangan, jual beli sering dilakukan pada saat objek jual beli belum saatnya dijual. Terutama dalam praktek jual beli sayuran atau buah-buahan. Pihak penjual terkadang menawarkan kepada calon pembeli untuk membeli buah-buahan yang masih muda. Dapat juga, si pembeli menawar dan menawar agar pemilik barang dapat menjual tanaman atau buah-buahan pada saat belum layak panen, meski pun panennya tetap dilakukan pada saatnya.
Praktek seperti ini memberikan peluang kepada penjual atau pembeli untuk mendapatkan kerugian atau keuntungan yang diluar perkiraan. Karena terdapat jangka waktu antara pelaksanaan transaksi dengan penyerahan objek jual beli.
Dapat juga terjadinya serah terima barang pada saat transaksi dilakukan, sehingga barang yang dijual dan belum layak panen berarti penjual atau pemilik barang telah menyia-nyiakan harta. Hal itu karena kualitasnya belum naik dan kadang bahkan layak untuk dikonsumsi. Oleh sebab itu dapat dilihat aturan yang telah diberikan oleh Rasulullah Saw. dalam hadis berikut:
حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرَةِ حَتَّى يَبْدُ وَ ﺻَﻼَ حُهَا وَعَنِ النَّخْلِ حَتَّى يَزْهُوَ قِيلَ وَمَا يَزْهُو قَالَ يَحْمَارُّ ٲَوْ يَصْفَارُّ
Arti Hadis:
Dari Anas bin Malik, Rasulullah Saw. melarang jual beli buah-buahan sampai sudah jelas bentuknya (pantas untuk dipetik)

a.      Syarah Hadis
Buah-buahan dan biji-bijian dalam proses menuju matang memiliki kemungkinan untuk gagal panen. Karena ada berbagai macam hal yang dapat menyebabkan itu, seperti adanya perubahan musim, hama atau bencana alam. Kenyataan ini dijadikan sebagai dasar untuk memberikan aturan dalam menentukan waktu pantasnya buah-buahan atau biji-bijian itu dapt diperjualbelikan.
Semua aturan itu bermuara pada upaya meminimalisir kemungkinan terjadinya bisnis yang tidak memiliki prinsip ‘an taradhin. Spekulasi dalam jual beli ijon memberikan kemungkinan penjual atau pembeli memiliki atau memakan milik orang lain secara tidak benar. Pada jual beli ijon, jika hasil yang didapatkan setelah panen jauh lebih baik dari perkiraan semula (waktu transaksi dilakukan), maka pihak pembeli akan mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar sehingga penjual secara tidak langsung akan merasa dirugikan. Begitu juga sebaliknya, jika hasil panen jauh dibawah perkiraan atau bahkan sangat sedikit, karena hama, musim, atau bencana alam, maka pembeli akn menanggung kerugian dan pemilik akan sangat diuntungkan.
Telah dikemukakan bahwa dalam jual beli menurut Islam ada aturan yang sangat jelas tentang objek yang diperjualbelikan. Objek jual beli harus jelaas baik kualitas, kuantitas dan jenisnya. Untuk buah-buahan atau biji-bijian, kematangan menjadi persyaratan untuk dapat dijual. Oleh sebab itu, dalam hadis terdapat larangan Rasulullah Saw. melakukan jual beli ijon. Karena ada spkulai yang akn mendatangkan keuntungan lebih atau kerugian bagi penjual atau pembeli.
Untuk memberikan penjelasan tentang kata يَزْهُوَ menggunakan istilah yang beda yaitu: يَبْدُ وَ ﺻَﻼَ حُهَا , yakni sudah jelas baiknya (bentuk aslinya), dan احمر sebagai penjelasan Rasulullah Saw. terhadap kata ترهو yang menekankan pada warna sebagai indikasi kematangan. Dalam hadis ini indikasi kejelasan buah yang sudah layak dijual ketika sudah berwarna agak kemerah-merahan. Warna kemerah-merahan menunjukkan pada buah-buahan yang ketika matangnya berwarna merah.
Sedangkan untuk  buah lain bisa saja warna matangnya bukan merah, seperti hitam, kuning atau putih misalnya, maka tanda kematangannya setelah agak kehitam-hitaman, kekuning-kuningan, atau keputih-putihan.
Berbeda dengan buah-buahan, untuk biji-bijian tanda kematangannya adalah تشتد yang menunjukkan bahwa transaksi terhadap biji-bijian dapat dilakukan ketika bijinya sudah mengeras. Artinya, telah terlihat bahwa biji-bijian tersebut bernas.
Dapat dikatakan bahwa aturan tentang adanya larangan jual beli ijon ini memberikan jaminan bagi penjual atau pun pembeli, agar tidak terjadi penyesalan atau pun rasa dirugikan dengan kemungkinan yang dapat saja muncul di belakang.

b.      Pengertian jual beli ijon
Ijon atau dalam bahasa Arab dinamakan mukhadlarah, yaitu memperjual belikan buah-buahan atau biji-bijian yang masih hijau. Atau dalam buku lain dinamakan al-Muhaqalah yaitu menjual hasil pertanian sebelum tampak atau menjualnya ketika masih kecil.[4]

c.       Pendapat para fukaha
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai jual beli di atas pohon dan hasil pertanian di dalam bumi. Hal ini karena adanya kemungkinan bentuk ijon yang didasarkan pada adanya perjanjian tertentu sebelum akad.
Imam Abu Hanifah atau fuqaha Hanafiyah membedakan menjadi tiga alternatif hukum sebagai berikut :
1.      Jika akadnya mensyaratkan harus di petik maka sah dan pihak pembeli wajib segera memetiknya sesaat setelah berlangsungnya akad, kecuali ada izin dari pihak penjual.
2.      Jika akadnya tidak disertai persyaratan apapun, maka boleh.
3.      Jika akadnya mempersyaratkan buah tersebut tidak dipetik (tetap dipanen) sampai masak-masak, maka akadnya fasad.
Sedang para ulama berpendapat bahwa mereka membolehkan menjualnya sebelum bercahaya dengan syarat dipetik. Hal ini didasarkan pada hadits nabi yang melarang menjual buah-buahan sehingga tampak kebaikannya. Para ulama tidak mengartikan larangan tersebut kepada kemutlakannya, yakni larangan menjual beli sebelum bercahaya. Kebanyakan ulama malah berpendapat bahwa makna larangan tersebut adalah menjualnya dengan syarat tetap di pohon hingga bercahaya
Jumhur (Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah) berpendapat, jika buah tersebut belum layak petik, maka apabila disyaratkan harus segera dipetik sah. Karena menurut mereka, sesungguhnya yang menjadi halangan keabsahannya adalah gugurnya buah atau ada serangan hama. Kekhawatiran seperti ini tidak terjadi jika langsung dipetik. Sedang jual beli yang belum pantas (masih hijau) secara mutlak tanpa persyaratan apapun adalah batal.
Pendapat-pendapat ini berlaku pula untuk tanaman lain yang diperjual belikan dalam bentuk ijon, seperti halnya yang biasa terjadi di masyarakat kita yaitu penjualan padi yang belum nyata keras dan dipetik atau tetap dipohon, kiranya sama-sama berpangkal pada prinsip menjauhi kesamaran dengan segala akibat buruknya. Namun analisa hukumnya berbeda.[5]

d.      Hikmah Larangan Menjual Buah Yang Masih Hijau
·        Mencegah timbulnya pertengkaran (mukhashamah) akibat kesamaran.
·        Melindungi pihak pembeli, jangan sampai menderita kerugian akibat pembelian buah-buahan yang rusak sebelum matang.
·        Memelihara pihak penjual jangan sampai memakan harta orang lain dengan cara yang bathil
·        Menghindarkan penyesalan dan kekecewaan pihak penjual jika ternyata buah muda yang di jual dengan harga murah itu memberikan keuntungan besar kepada pembeli setelah buah itu matang dengan sempurna.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
Bai'as-salam artinya pembelian barang yang diserahkan kemu dian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Prinsip yang harus dianut adalah harus diketahui terlebih dulu jenis, kualitas dan jumlah barang, dan hukum awal pembayaran harus dalam bentuk uang.
Dalam transaksi Bai’ as Salam harus memenuhi 5 (lima) rukun yang mensyaratkan harus ada pembeli, penjual, modal (uang), barang, dan ucapan (sighot).
Sebagaimana dapat dipahami dari namanya, yaitu as salam yang berarti penyerahan, atau as salaf, yang artinya mendahulukan, maka para ulama' telah menyepakati bahwa pembayaran pada akad as salam harus dilakukan di muka atau kontan, tanpa ada sedikitpun yang terhutang atau ditunda.
Pada intinya penjual ijon dalam seluruh madzhab adalah tidak diperbolehkan, karena pada dasarnya permasalahan ini sudah jelas nass hukum yang berupa hadits Rasulullah Saw. Hal ini karena permasalahan jual beli ijon sudah ada sejak zaman Rasulullah dan bukan masalah kontemporer meskipun prakteknya masih terus berlaku sampai sekarang.
Perbedaan pendapat yang terjadi pada para fuqaha, sebenarnya berpangkal pada prinsip yang sama, yaitu sama-sama menjauhi kesamaran dengan segala akibat buruknya. Namun analisa hukumnya yang berbeda.
Abu Hanifah atau Imam hanafiyah membolehkan menjual buah-buahan yang masih hijau dengan syarat dipetik, dan tidak membolehkan yang tetap berada di pohon dengan alasan karena penjualan mengharuskan diserahkan.
Sedang jumhur dan ulama membolehkan dengan syarat dipetik dengan alasan menghilangkan dari adanya kerusakan atau adanya serangan hama yang biasanya terjadi pada buah-buahan sebelum buah bercahaya. Pada intinya pelarangan jual beli ijon yang tetap berada di pohon adalah menghindarkan kesamaran (gharar), menghilangkan penipuan yang mengandung pertengkaran dikemudian hari, serta tidak mengakibatkan resiko sehingga terhindar dari memakan harta orang lain dengan cara bathil.

0 komentar:

Posting Komentar