Blogger news

Pages

Sabtu, 27 April 2013

filsafat Umum

BAB II

PEMBAHASAN

A.      Biografi

Al-Farabi memiliki nama lengkap Abu Nashr-Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan Al-Farabi. Sebutan Al-farabi diambil dari nama kampung kelahirannya Al-Farabi.[1]

Ayahnya adalah seorang Iran yang menikah dengan seorang wanita Turkestan. Oleh karena itu, Al-Farabi disebut keturunan Turkestan dan kadang-kadang juga disebut keturunan Iran.

Sejak kecil Al-Farabi suka belajar, dan ia mempunyai kecapakan yang luar biasa dalam bidang bahasa.[2] Bahasa yang dikuasainya antara lain bahasa Iran, Turkestan, dan Kurdistan. Nampaknya ia tidak mengenal bahasa Yunani dan Suryani, yaitu bahasa-bahasa ilmu pengetahuan dan filsafat pada waktu itu.

Setelah besar, Al-Farabi meninggalkan negerinya untuk menuju kota Baghdad, pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan pada masanya, untuk belajar kepada Abu Bisyr in Mattius. Selama di Baghdad ia memusatkan perhatiannya kepada ilmu logika.

Nampaknya pada waktu pertama datang di Baghdad, hanya sedikit saja bahasa Arab yang dikuasainya. Ia belajar ilmu Nahwu (tata bahasa Arab) pada Abu Bakar As-Sarraj, sebagai imbalan pelajaran logika yang diberikan oleh Al-Farabi kepadanya. Sesudah itu ia pindah ke Harran, salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil, untuk berguru kepada Yuhanna bin Jilan. Akan tetapi, tidak lama kemudian ia meninggalkan kota itu dan kembali ke Baghdad untuk mendalami filsafat sesudah ia menguasai ilmu mantiq (logika). Di Baghdad ia tinggal selama 30 tahun. Selama itu ia menggunakan waktunya untuk mengarang, memberikan pelajaran, dan mengulas buku-buku filsafat.

Al-Farabi tertarik pada kebudayaan Aleppo, tempat berkumpulnya manusia-manusia hebat di lingkungan istana Saif al-Daulah al-Hamadani. Kecerdasan dan kemahirannya pula yang membawanya kelingkaran istana.[3] Disana ia bertemu dengan para sastrawan, para penyair, para ahli bahasa, par fukaha dan ilmuwan. Ibnu Khalikan memujinya sebagai filsuf muslim terbesar yang tak tertandingi dalam dunia sains dan filsafat. Sistem filsafatnya merupakan sintesis dari Platonisme, Aristotelianisme, dan Sufisme.[4]

B.       Karya-karya Al-Farabi

Karya-karya Al-Farabi diklasifikasikan kedalam logika dan non-logika. Dibidang logika, ia memberikan komentar atas Organon atas karya Aristoteles, dan menulis pengantar logika.[5] Sedangkan dalam bidang non-logika, ia meringkas tulisan Plato The Laws; mengomentari Nicomachean Ethics, Physics, Meteorology, de Caelo et de Mundo on the Movement of the Heavenly Sphere Aristoteles, mengulas komentar Alexander Aphrodisias tentang jiwa (de Anima), ditambah tulisan pribadi tentang jiwa (on the soul), daya jiwa (on the power of the soul), kesatuan dan satu (unity and the one), aql dan ma’qul (the intelligency and intelligible), menulis makalah tentang substansi (substance), waktu (time), ruang serta ukuran (space and measure), dan kekosongan (vacuum), mengulas al-Majasta Ptolemy, dan berbagai ulasan tentang persoalan Euchid.[6]

Karya-karya Al-Farabi beredar di Timur dan Barat pada abad 10 dan 11 M, sebagaimana terlihat pada terjemahannya ke bahasa Yunani dan Latin hingga memengaruhi cakrawala pemikiran sarjana Yahudi dan Kristen. Pemikiran filsafat Al-Farabi menjadi dasar pijakan Ibnu Sina.

Suatu keistimewaan yang diraih oleh Al-Farabi ialah tentang usaha yang ia lakukan dalam mengkompromikan perbedaan paham antara Plato dan Aristoteles. Plato mengatakan bahwa alam nyata yang kita lihat ini hanyalah tiruan semata dari alam idea, sedangkan menurut Aristoteles mengatakan sebaliknya, bahwa alam idea hanyalah bayangan (pantulan) saja dari alam materi. Plato mengatakan bahwa alam dunia ini adalah baru (hadis) dan tidak abadi, maka sebaliknya Aristoteles berpendapat bahwa alam dunia ini aadim (azali), sudah ada sejak semula dan abadi selama-lamanya.[7]

C.      Filsafat Al-Farabi

1.      Metafisika

Hal-hal yang diicarakan Al-Farabi dalam metafisika adalah sebagai berikut:[8]

a.    Tuhan

Al-Farabi, sebelum membicarakan tentang hakikat Tuhan dan sifat-sifat-Nya terlebih dulu membagi wujud yang ada pada dua bagian.

1.      Wujud yang mumkin atau wujud yang nyata karena lainnya (wajib lighairihi), seperti wujud cahaya yang tidk akan ada kalau tidak ada matahari. Wujud yang mumkin tersebut menjadi bukti adanya sebab yang pertama (Tuhan), karena yang mumkin itu, harus berakhir kepada sesuatu wujud yang nyata dan yang pertama kali ada.

2.      Wujud yang nyata  dengan sendirinya (wajib al-wujud lidzatih). Wujud adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujud-Nya. Wujud yang apabila diperkirakan tidak ada, akan timbul dan kelihatan sama sekali. Ia adalah Sebab Yang Pertama bagi semua wujud. Wujud Yang Wajib tersebut dinamakan Tuhan (Allah).

b.   Hakikat Tuhan

Allah adalah wujud yang sempurna dan yang ada tanpa suatu sebab, karena kalau ada sebab bagi-Nya berarti ia tidak sempurna, sebab tergantung padanya. Ia adalah wujud yang paling mulia dan yang paling dahulu adanya. Oleh karena itu, Tuhan adalah zat yang azali (tanpa permulaan) yang selalu ada.

c.    Sifat-sifat Tuhan

Sifat Tuhan tidak berbeda dengan substansinya. Tuhan adalah ‘Aql murni, Ia Esa adanya dan yang menjadi objek pemikiran-Nya hanya substansi-Nya saja. Jadi Tuhan adalah Akal, substansi yang berfikir dan substansi yang dipikirkan. Tuhan itu Maha Tahu, Ia tidak membutuhkan sesuatu diluar Zat-Nya untuk tahu dan juga memberi tahu untuk diketahuinya, cukup dengan substansi-Nya Tuhan itu, Ilmu, substansi yang mengetahui dan substansi yang diketahui.[9]

Al-Farabi berusaha keras untuk menunjukan keesaan Tuhan dan ketunggalan-Nya, dan bahwa sifat-sifat-Nya tidak lain adalah Zat-Nya sendiri. Dari segi ini, yakni kesatuan sifat dengan Zat, ia sependapat dengan golongan Mu’tazilah.

Tentang Asma Al-Husna, dikatakan oleh Al-Farabi bahwa kita bisa menyebut nama-nama sebanyak yang kita kehendaki. Akan tetapi, kesemuanya ini hanya menunjukan macam-macam hubungan Tuhan dengan makhluk dari segi keagungan-Nya. Nama-nama tersebut sama sekali tidak menunjukan adanya bagian-bagian pada Zat Tuhan atau sifat-sifat yang berbeda dari Zat-Nya.

2.      Filsafat Kenabian

Manusia dapat berhubungan dengan akal fa’al melalui dua cara yakni penalaran atau renungan pemikiran dan imajinasi atau intuisi (ilham). Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh pribadi-pribadi pilihan yang dapat menembus materi untuk dapat mencapai cahaya keutamaan. Sedangkan cara yang kedua hanya dapat dilakukan oleh Nabi. Perbedaan antara kedua cara tersebut hanya pada tingkatannya, tidak pada esensinya.

Ciri seorang Nabi mempunyai daya imajinasi yang kuat, dimana objek indrawi dari luar tidak dapat mempengaruhinya ketika Ia berhubungan dengan akal fa’al, Ia dapat menerima visi dan kebenaran dalam bentuk wahyu. Wahyu merupakan limpahan dari Tuhan melalui ‘aql fa’al (akal 10) yaitu jibril. Nabi berhubungan langsung dengan akal 10 tanpa latihan, karena Allah menganugrahi akal yang mempunyai kekuatan suci. Sedangkan filosuf dapat berhubungan dengan Tuhan melalui akal mustafad (perolehan) yang terlatih dan kuat daya tangkapnya, sehingga dapat menangkap hal-hal yang bersifat abstrak murni dari akal 10. Karena nabi dan filsuf dapat berhubungan dengan akal 10, maka antara wahyu dan filsafat tidak dapat bertentangan.[10]

3.      Logika

Pendapatnya tentang logika adalah sebagai berikut:[11]

a.       Definisi logika. Logika ialah ilmu tentang pedoman (peraturan) yang dapat menegakkan pikiran dan menunjukannya pada kebenaran dalam lapangan yang tidak bisa dijamin kebenarannya.

b.      Guna Logika. Maksud logika ialah agar kita dapat membetulkan pemikiran orang lain, atau agar orang lain dapat membenarkan pemikiran kita, atau kita dapat membetulkan pemikiran diri kita sendiri.

c.       Lapangan Logika. Lapangan ialah segala macam pemikiran yang bisa diutarakan dengan kata-kata, dan juga segala macam kata-kata dalam kedudukannya sebagai alat menyatakan pikiran.

d.      Bagian-bagian Logika. Bagian-bagiannya ada delapan, yaitu kategori (al-ma-qulat al-‘asyr); kata-kata (al-ibarah; termas); analogi pertama (al-qiyas); analogi kedua (al-burhan); jadal (debat); sofistika; retorika; dan poetika (syair).

Pembagian qiyas ada lima, yaitu:

1.      Qiyas yang meakinkan (qiyas-burhani), yaitu qiyas yang memberikan keyakinan.

2.      Qiyas jadali, yaitu qiyas yang terdiri dari hal-hal yang sudah terkenal dan bisa diterima (al-masyhurat wal musallamat).

3.      Qiyas sofistika ialah qiyas yang menimbulkan sangkaan bahwa sesuatu yang tidak benar kelihatan benar atau sebliknya.

4.      Qiyas-khatabi, yaitu qiyas yang menimbulkan dugaan yang tidak begitu kuat.

5.      Qiyas-Syi’ri, yaitu qiyas yang memakai perasaan dan khayalan untuk dapat menarik orang lain.

4.      Emanasi (Al-Faid)

      Emanasi adalah teori tentang keluarnya suatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari Zat yang wajib-ul-wujud (Zat yang mesti adanya; Tuhan). Teori emanasi disebut juga dengan nama “teori tingkatan wujud”.

      Wujud pertama yang keluar dari Tuhan disebut akal pertama, yang mengandung dua segi. Pertama, segi hakikatnya sendiri (tabi’at, wahiyya), yaitu wujud yang mumkin. Kedua, segi lain, yaitu wujudnya yang nyata dan yang terjadi karena adanya Tuhan, sebagai Zat yang menjadikan. Jadi, meskipun akal pertama tersebut satu (tunggal), pada dirinya terdapat bagian-bagian, yaitu adanyadua segi tersebut yng menjadi objek pemikirannya. Dengan adanya segi-segi ini, dapatlah dibenarkan adanya bilangan pada alam sejak dari akal pertama.

      Dari pemikiran akal pertama, dalam kedudukannya sebagai wujud yang wajib (yang nyata) karenaTuhan, dan sebagai wujud yang mengetahui dirinya, maka keluarlah akal kedua. Dari pemikiran akal pertama, dalam kedudukannya sebagai wujud yang mumkin dan mengetahui dirinya, timbullah langit pertama atau benda langit terjauh (as-sama al-ula; al-falak al-a’la) dengan jiwanya sama sekali (jiwa langit tersebut). Jadi, dari dua objek pengetahuan, yaitu dirinya dan wujudnya yang mumkkin, keluarlah dua macam makhluk tersebut, yaitu bendanya benda langit dan jiwanya.

      Dari akal kedua, timbullah akal ketiga dan langit kedua atau bintang-bintang tetap (al-kwakibats-tsbitah) beserta jiwanya, dengan cara yang sama seperti yang terjadi pada akal pertama.

      Dari akal ketiga, keluarlah akal keempat dan planet Saturnus besrta jiwanya. Dari akal keempat keluarlah akal kelima, dan planet Yupiter (Al- Musytara) beserta jiwanya.

      Dari akal kelima keluarlah akal keenam dan planet Mars (Mariiah) beserta jiwanya. Dari akal keenam keluarlah akal ketujuh dan matahari (As-Syams) berikut jiwanya.

      Dari akal ketujuh keluarlah akal kedelapan dan planet Venus (Az-Zuharah) juga beserta jiwanya. Dari akal kedelapan keluarlah akal kesembilan dan planet Mercurius (Utarid) beserta jiwanya. Dari akal kesembilan keluarlah akal kesepuluh dan bulan (Qamar).

      Dengan demikian, dari satu akal keluarlah satu akal pula dan satu planet besrta isinya. Dari akal kesepuluh, sesuai denga dua seginya, yaitu wajib-ul-wujud karena Tuhan, maka keluarlah manusia besrta jiwanya, dan dari segi dirinya merupakan wujud yang mumkin, maka keluarlah unsur empat dengan perantaraan benda-benda langit.

      Demikianlah jumlah akal ada sepuluh, sembilan diantaranya untuk mengurus benda-benda langit yang Sembilan, dan akal kesepuluh, yaitu akal bulan, mengawasi dan mengurusi kehidupan dibumi. Akal-akal tersebut tidak berbeda, tetapi merupakan pikiran selamanya. Kalau pada Tuhan, yaitu wujud yang pertama, hanya terdapat satu objek pemikiran, yaitu Zat-Nya saja, pada akal-akal tersebut terdapat dua objek pemikiran, yaitu Tuhan, Zat yang wajib-ul-wujud dan diri akal-akal itu sendiri.[12]  

DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun.1978.Filsafat&Mistisme dalam Islam.Jakarta:Bulan Bintang

Syadali, Ahmad, Mudzakir.2004 Filsafat Umum.Bandung:Pustaka Setia

Fuad al-Ahwani, Ahmad.1984.Filsafat Islam.Jakarta: Proyek prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama

Drajat, Amroeni.2006.Filsafat Islam.Medan: Erlangga

Abdul Hakim, Atang, Beni Ahmad Saebani.2008.Filsafat Umum.Bandung: Pustaka Setia

Jalil, Mat.Filsafat Umum Philosophi

[1] Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, (Bandung:Pustaka Setia,2004), hlm. 167

[2] Ibid, hlm. 168

[3] Ahmad Fuad al-Ahwani, Filsafat Islam, (Jakarta: Proyek prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, 1984), hlm. 44

[4] Amroeni Drajat, Filsafat Islam, (Medan: Erlangga, 2006), hlm. 26

[5] Ibid, hlm.27

[6] Ibid,

[7] Ahmad Syadali dan Mudzakir, op., cit, hlm. 171

[8] Atang Abdul Hakim, op., cit, hlm. 457

[9] Mat jalil, Filsafat Umum Philosophi, hlm. 154

[10] Mat jalil, op., cit, hlm. 160

[11] Atang Abdul Hakim, ibid, hlm. 456

[12] Ibid, hlm. 462

0 komentar:

Posting Komentar