Blogger news

Pages

Selasa, 23 April 2013

ilmu kalam



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Perpecahan kaum muslimin menjadi kelompok-kelompok pemikiran yang banyak tidak dapat dipungkiri lagi. Semua itu tidak lepas dari jauhnya mereka dari ajaran Rasulullah dan para sahabatnya dalam beragama. Munculnya kelompok Murji’ah ini diawal masa tabi’in tepatnya setelah selesai pemberontakan atau fitnah Ibnu Al-Asy’ats.
Paham teologi Murji’ah mulai muncul karena masalah besar. Persoalan dosa besar yang pada mulanya ditimbulkan oleh kaum khawarij, kini juga menjadi persoalan yang dihadapi oleh kaum Murji’ah. Kalau kaum Khawarij menjatuhkan hukum kafir bagi orang yang berbuat dosa besar, maka kaum Murji’ah tidak menjatuhkan hukum kafir bagi mereka. Orang yang melakukan dosa besar tidak dapat ditetapkan hukumnya didunia. Penyelesaian hukumnya ditunda sampai hari perhitungan di akherat nanti. Kaum Murji’ah berpendapat bahwa mereka itu tetap orang yang mukmin. Alasannya ialah bahwa walaupun mereka itu telah berbuat dosa besar, namun mereka masih tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad adalah Rosul-Nya. Dengan kata lain orang itu tetap mengucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang yang melakukan dosa besar menurut pendapat golongan ini tetap mukmin dan bukan kafir. Semua pembahsan mengenai Murji’ah akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari Murji’ah?
2.      Bagaimana sejarah timbulnya aliran Murji’ah?
3.      Bagaimana perkembangan dari aliran Murji’ah?
4.      Bagaimana pembagian sekte-sekte aliran Murji’ah?
5.      Bagaimana doktrin-doktrin dari aliran Murji’ah?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian Murji’ah
2.      Untuk mengetahui sejarah timbulnya aliran Murji’ah
3.      Untuk mengetahui perkembangan dari aliran Murji’ah
4.      Untuk mengetahui sekte-sekte yang ada dalam aliran Murji’ah
5.      Untuk mengetahui doktrin-doktrin aliran Murji’ah

D.    Metode penulisan

Metode yang digunakan penulis untuk menyusun makalah ini adalah study pustaka yaitu usaha penulis menghimpun informasi-informasi yang relevan dari buku-buku ilmiah, ensiklopedi, dan sumber-sumber baik tercetak ataupun elektronik lain.


BAB II
PEMBAHASAN

A.         Pengertian Murji’ah

            Nama Murji’ah diambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan dan pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Oleh karena itu, Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa.[1]
Ada beberapa pendapat tentang arti arja’a, diantaranya:[2]
a.       ibn’asakir, dalam uraiannya tentang asal-usul kaum Murji’ah mengatakan bahwa “arja’a” berarti menunda. Dinamakan demikian karena mereka itu berpendapat bahwa masalah dosa besar itu ditunda penyelesaiannya sampai hari perhitungan nanti, kita tidak dapat menghukumya sebagai orang kafir.
b.      ‘Ahmad Amin dalam kitabnya Fajr al-Islam mengatakan bahwa “arja’a” juga mengandung arti, membuat sesuatu mengambil tempat di belakang, dalam arti memandang sesuatu kurang penting. Dinamakan sesuatu kurang penting, yang penting adalah imannya. Amal adalah nomor dua setelah iman.
c.       Ahmad Amin juga mengatakan bahwa “arja’a” juga mengandung arti memberi pengharapan. Karena, di antara kaum Murji’ah ini ada yang berpendapat bahwa orang islam yang melakukan dosa besar itu tidak berubah menjadi kafir, ia tetap sebagai orang yang mukmin, dan kalau ia dimasukkan dalam neraka, maka ia tidak akan kekal didalamnya. Dengan demikian orang yang berbuat dosa besar masih mempunyai pengharapan akan dapat masuk surga.


B.                 Sejarah Timbulnya Aliran Murji’ah

Awal mula timbulnya Murji’ah adalah sebagai akibat dari gejolak dan ketegangan pertentangan politik yang kemudian mengarah ke bidang teologi. Pertentangan politik ini terjadi sejak meninggalnya khalifah Usman dan berlanjut sepanjang masa khalifah Ali dengan puncak ketegangannya terjadi pada waktu perang Jamal dan perang Siffin.[3]
Kaum Khawarij, yang pada mulanya adalah penyokong Ali, tetapi di kemudian hari berbalik menjadi musuhnya. Karena adanya perlawanan dari golongan Khawarij ini, maka penyokong-penyokong yang tetap setia kepada Ali bertambah keras dan fanatik dalam membela Ali, sehingga akhirnya munculah golongan pendukung Ali yang dikenal dengan nama golongan Syi’ah. Kefanatikan golongan ini terhadap Ali bertambah keras, terutama setelah Ali dibunuh oleh Muljam dari golongan Khawarij.[4]
Kaum Khawarij dan Syi’ah, walaupun merupakan dua golongan yang bermusuhan, namun mereka sama-sama menentang kekuasaan Banni Umayyah, walaupun motifnya berlainan. Kalau golongan Khawarij menentang kekuasaan Banni Umayyah, karena mereka menganggap bahwa Banni Umayyah telah menyeleweng dari ajaran islam, maka golongan Syi’ah menentang Banni Umayyah karena mereka menganggap Banni Umayyah telah merampas kekuasaan dari tangan Ali dan keturunannya.[5]
Dalam suasana pertentangan seperti inilah maka timbul suatu golongan baru yang ingin bersikap netral, tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan, seperti yang dilakukan oleh kaum Khawarij dan Syi’ah. Golongan inilah yang kemudian dikenal dengan nama golongan Murji’ah. [6]     
Aliran Murji’ah muncul sebagai suatu reaksi atas sikap yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan oleh aliran khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa Tahkim itu dihadapan Tuhan, karena hanya Tuhanlah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar masih dianggap mukmin di hadapan mereka. Orang mukmin yang melakukan dosa besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mengucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir.[7]

C.                Perkembangan Murji’ah

Asas golongan Murji’ah tentang batasan pengertian “Iman”. Menurut Ahlus Sunnah bahwa iman itu terdiri dari tiga unsur yaitu membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan, dan menyertainya dengan amal perbuatan.[8]
Amin menerangkan:
“Kebanyakan golongan Murji’ah berpendapat bahwa Iman ialah hanya membenarkan dengan hati saja. Atau dengan kata lain iman ialah makrifat kepada Allah SWT. Dengan hati bukan pengertian lahir. Apabila seseorang beriman dengan hatinya, maka ia adalah mukmin dan muslim, sekalipun lahirnya dia menyerupai orang Yahudi atau Nasrani dan meskipun lisannya tidak mengucapkan dua kalimat sahadat. Mengikrarkan dengan lisan dan amal perbuatan seperti shalat, puasa dan sebagainya, itu bukan bagian daripada iman.”

            Ajaran dan paham kaum Murji’ah, memberikan kesan bahwa amal perbuatan seseorang tidak berarti atau tidak mempunyai nilai dalam kehidupan agama. Sehingga menimbulkan keraguan dalam iman itu sendiri. Apalagi jika dibandingkan dengan kesederhanaan iman yang telah diajarkan oleh Rasullullah Saw selama masa hidupnya.  Meskipun realisasi konkritnya dalam kehidupan, ajaran Murji’ah ini memberikan ruang lingkup kehidupan yang luas tidak terikat oleh dogma dan sikap yang mudah mengkafirkan orang lain.[9]
            Sikap demikian itu mengaburkan atau sama sekali menghapuskan identitas manusia dan kemanusiaan, sebagai akibat daripada ketetapan iman dalam hati tanpa kelanjutan yang membuahkan amal. Orang tidak akan mampu mengetahui isi hati seseorang. Jika manusia kehilangan isentitasnya berarti telah kehilangan kepribadiannya.
Mengenai pendapat bahwa iman tidak mempunyai sifat bertambah dan berkurang, serta tidak ada perbedaan antara manusia dalam hal iman; selain bertentangan dengan firman Allah yang artinya:[10]
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut (nama)  Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Nya, bertambahlah imannya dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal”. (Al-Anfal:2)
            Ayat tersebut sudah jelas dan tegas menggambarkan bahwa iman itu dinamis dapat tumbuh dan berkembang, demikian juga sebaliknya dapat berkurang dan hilang sama sekali. Dalam kehidupan beragama kaum Murji’ah menunjukkan sifat yang optimis. Sedangkan mengenai penangguhan hukum kepada Tuhan, kaum Murji’ah telah menempatkan Tuhan pada posisiNYA sebagai khalik dengan sifat-sifat Kemaha KuasaanNYA yang tidak dapat ditawar.[11]
            Allah telah memberikan peringatan dengan firmanNYA:
“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya kecuali mereka yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.”
 (At-Tin:4-6)

D.                Sekte-Sekte dalam aliran Murji’ah

1.      Golongan Murji’ah yang Moderat
Golongan ini berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar bukanlah kafir dan tidak dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang ia lakukan, dan ada kemungkinan Tuhan akan mengampuninya, sehingga mereka tidak akan masuk neraka sama sekali.[12]
Jadi menurut golongan ini orang Islam yang melakukan dosa besar itu masih tetap mukmin. Yang termasuk dalam golongan ini antara lain: al-Hasan ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadis lainnya.[13]
Abu Hanifah mengatakan iman ialah pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, tentang Rosul-rosul-Nya dan tentang segala yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan tidak dalam perincian.[14] Menurut dia, iman itu tidak bertambah atau berkurang, dan tidak ada perbedaan manusia dalam hal iman. Dari ucapan Abu Hanifa tersebut, jelaslah iman semua orang Islam itu sama tidak ada perbedaan antara iman orang Islam yang berdosa besar dan iman orang yang patuh dan taat menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya.[15]

2.      Golongan Murji’ah yang ekstrim
Yang termasuk dalam golongan Murji’ah yang ekstrim ini antara lain:[16]
a.       Golongan Al-Jahmiah. Mereka adalah pengikut Jahm Ibn Shafwan. Golongan ini berpendapat bahwa orang Islam yang percaya kepada Tuhan dan kemudian ia menyatakan kufur kepada Tuhan secara lisan, maka orang tetsebut tidak menjadi kafir karenanya, sebab iman itu tepatnya didalam hati, bukan dilidah atau tempat lain dari tubuh manusia. Bahkan apabila orang tersebut melakukan penyembahan terhadap patting atau berhala, atau menyatakan pada trinitas, kemudian orang tersebut meninggal dunia, maka orang tersebut dalam pandangan Allah masih sebagai seorang mukmin yang sempurna imannya.
b.      Golongan Al-Salihiah. Mereka adalah pengikut Abu al-Hasan al-Salihi. Golongan ini berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan. Menurut mereka, shalat itu tidak merupakan ibadah kepada Tuhan, karena yang disebut ibadah itu ialah beriman kepada Tuhan, dalam arti mengetahui Tuhan.
c.       Golonga Al-Yunusiyah. Golongan ini berpendapat bahwa yang disebut iman itu hanyalah mengetahui Tuhan. Karena itu mereka berkesimpulan bahwa melakukan perbuatan maksiat atau pekerjaan-pekerjaan jahat itu tidak merusakkan iman seseorang.
d.      Golongan Al-Ubaidiyah. Golongan ini berpenpendapat bahwa jika seseorang meninggal dunia dalam keadaan beriman, maka dosa-dosa dari perbuatan-perbuatan jahat mereka tidak akan merugikan mereka. Perbuatan jahat, sedikit atau banyak, tidak merusakkan iman seseorang, dan demikian pula sebaliknya perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan oleh seseorang yang musyrik(tidak beriman), tidak akan mengubah kedudukannya sebagai orang yang musyrik.

Paham-paham ekstrim seperti dikemukakan diatas, muncul sebagai akibat dari pendapat yang mengatakan bahwa hanya iman sajalah yang penting yang menentukan mukmin atau tidaknya seseorang. Amal perbuatan tidak mempunyai pengaruh terhadap iman seseorang.[17] Murji’ah golongan ekstrim inilah yang menyebabkan nama murjiah menjadi buruk dan tidak disenangi oleh kebanyakan umat Islam.
Sebaliknya ajaran golongan Murji’ah yang moderat dapat diterima oleh kebanyakan umat Islam, sehingga ajarannya itu dapat diterima oleh Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah.[18]

E.                 Doktrin-doktrin Murji’ah
Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja atau arja’a yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun teologis. Dibidang politik, doktrin irja diimplementasikan dengan sikap politik netral atau nonblok. Yang hampir selalu di ekspresikan dengan sikap diam. Itulah sebabnya, kelompok Murji’ah dikenal pula sebagai kelompok bungkam.[19] Sikap ini akhirnya berimplikasi begitu jauh sehingga membuat Murji’ah selalu diam dalam persoalan politik.
Adapun dibidang teologi, doktrin irja dikembangkan Murji’ah ketika menanggapi persoalan-persoalan teologis yang muncul saat itu. Pada perkembangan berikutnya, persoalan-persoalan yang ditanggapinya menjadi semakin kompleks sehingga mencakup iman, kufur, dosa besar dan ringan, tauhid, tafsir Al-Quran, eskatologi, pengampunan atas dosa besar, kemaksuman nabi, hukuman atas dosa, ada yang kafir di kalangan generasi awal Islam, taubat, hakekat al-Quran, nama dan sifat Allah, serta ketentuan Tuhan.
Berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut :
1.      Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allahmemutuskannya diakherat kelak.
2.      Penangguhan Ali untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidun.
3.      Pemberian harapan atau (giving of hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
4.      Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (madzhab) para skeptis dan empiris dari kalangan Helenis.

Masih berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, Harun Nasution menyebutkan empat ajaran pokoknya, yaitu:
1.      Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
2.      Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
3.      Meletakkan (pentingnya) iman dari pada amal.
4.      Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.

Sementara itu, Abu ‘A’ la Al-Maududi menyebutkan dua doktrin pokok ajaran Murji’ah, yaitu:[20]
1.      Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal atau perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardukan dan melakukan dosa besar.
2.      Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman dihati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan madarat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan, sebagai berikut:
1.      Nama Murji’ah diambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan dan pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Oleh karena itu, Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa.
2.      Ajaran dan paham kaum Murji’ah, memberikan kesan bahwa amal perbuatan seseorang tidak berarti atau tidak mempunyai nilai dalam kehidupan agama. Sehingga menimbulkan keraguan dalam iman itu sendiri. Apalagi jika dibandingkan dengan kesederhanaan iman yang telah diajarkan oleh Rasullullah Saw selama masa hidupnya.  Meskipun realisasi konkritnya dalam kehidupan, ajaran Murji’ah ini memberikan ruang lingkup kehidupan yang luas tidak terikat oleh dogma dan sikap yang mudah mengkafirkan orang lain.
3.      Sekte-sekte Murji’ah dibagi menjadi dua, yaitu golongan Murji’ah yang moderat dan golongan Murji’ah yang ekstrim.
4.      Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja atau arja’a yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun teologis.


[1] Abdul Razak, Ilmu kalam, (Bandung, Pustaka Setia: 2001), hlm. 56
[2] Mustadjib, Akidah Akhlak II, (Jakarta, )
[3] Soekarno, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung, angkasa: 1983), hlm. 110
[4] Mustadjib, op., cit., hlm. 37
[5] Ibid, hlm 38
[6] ibid
[7] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada: 1993), hlm. 33
[8] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta, Rajawali Pers: 2010), hlm. 152
[9] Soekarno, op., cit., hlm. 114
[10] Ibid, hlm. 115
[11] Ibid, hlm. 116
[12] Abuddin, op.,cit., hlm. 34
[13] Mustadjib, op.,cit., hlm. 39
[14] Abuddin, op.,cit., hlm. 34
[15] Mustadjib, op.,cit., hlm. 39
[16] ibid

[17] Mustadjib, op.,cit., hlm. 40
[18] ibid
[19] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, ibid, hlm.58
[20] Abdul Rozak, Rosihon Anwar, ibid, hlm.59
 

0 komentar:

Posting Komentar