BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Perpecahan
kaum muslimin menjadi kelompok-kelompok pemikiran yang banyak tidak dapat
dipungkiri lagi. Semua itu tidak lepas dari jauhnya mereka dari ajaran
Rasulullah dan para sahabatnya dalam beragama. Munculnya kelompok Murji’ah ini
diawal masa tabi’in tepatnya setelah selesai pemberontakan atau fitnah Ibnu
Al-Asy’ats.
Paham
teologi Murji’ah mulai muncul karena masalah besar. Persoalan dosa besar yang
pada mulanya ditimbulkan oleh kaum khawarij, kini juga menjadi persoalan yang
dihadapi oleh kaum Murji’ah. Kalau kaum Khawarij menjatuhkan hukum kafir bagi
orang yang berbuat dosa besar, maka kaum Murji’ah tidak menjatuhkan hukum kafir
bagi mereka. Orang yang melakukan dosa besar tidak dapat ditetapkan hukumnya didunia.
Penyelesaian hukumnya ditunda sampai hari perhitungan di akherat nanti. Kaum
Murji’ah berpendapat bahwa mereka itu tetap orang yang mukmin. Alasannya ialah
bahwa walaupun mereka itu telah berbuat dosa besar, namun mereka masih tetap
mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad adalah Rosul-Nya.
Dengan kata lain orang itu tetap mengucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi
dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang yang melakukan dosa besar menurut
pendapat golongan ini tetap mukmin dan bukan kafir. Semua pembahsan mengenai
Murji’ah akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian dari Murji’ah?
2. Bagaimana
sejarah timbulnya aliran Murji’ah?
3. Bagaimana
perkembangan dari aliran Murji’ah?
4. Bagaimana
pembagian sekte-sekte aliran Murji’ah?
5. Bagaimana
doktrin-doktrin dari aliran Murji’ah?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian Murji’ah
2. Untuk
mengetahui sejarah timbulnya aliran Murji’ah
3. Untuk
mengetahui perkembangan dari aliran Murji’ah
4. Untuk
mengetahui sekte-sekte yang ada dalam aliran Murji’ah
5. Untuk
mengetahui doktrin-doktrin aliran Murji’ah
D.
Metode
penulisan
Metode
yang digunakan penulis untuk menyusun makalah ini adalah study pustaka yaitu
usaha penulis menghimpun informasi-informasi yang relevan dari buku-buku ilmiah,
ensiklopedi, dan sumber-sumber baik tercetak ataupun elektronik lain.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Murji’ah
Nama Murji’ah diambil dari
kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan dan pengharapan. Kata
arja’a mengandung pula arti memberi harapan yakni memberi harapan kepada pelaku
dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Oleh karena itu,
Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang
bersengketa.[1]
Ada beberapa pendapat tentang arti arja’a, diantaranya:[2]
a.
ibn’asakir, dalam uraiannya
tentang asal-usul kaum Murji’ah mengatakan bahwa “arja’a” berarti menunda. Dinamakan
demikian karena mereka itu berpendapat bahwa masalah dosa besar itu ditunda
penyelesaiannya sampai hari perhitungan nanti, kita tidak dapat menghukumya
sebagai orang kafir.
b.
‘Ahmad Amin dalam kitabnya Fajr
al-Islam mengatakan bahwa “arja’a” juga mengandung arti, membuat sesuatu
mengambil tempat di belakang, dalam arti memandang sesuatu kurang penting.
Dinamakan sesuatu kurang penting, yang penting adalah imannya. Amal adalah
nomor dua setelah iman.
c.
Ahmad Amin juga mengatakan
bahwa “arja’a” juga mengandung arti memberi pengharapan. Karena, di antara kaum
Murji’ah ini
ada yang berpendapat bahwa orang islam yang melakukan dosa besar itu tidak
berubah menjadi kafir, ia tetap sebagai orang yang mukmin, dan kalau ia
dimasukkan dalam neraka, maka ia tidak akan kekal didalamnya. Dengan demikian
orang yang berbuat dosa besar masih mempunyai pengharapan akan dapat masuk
surga.
B.
Sejarah Timbulnya Aliran Murji’ah
Awal mula timbulnya Murji’ah adalah
sebagai akibat dari gejolak dan ketegangan pertentangan politik yang kemudian
mengarah ke bidang teologi. Pertentangan politik ini terjadi sejak meninggalnya
khalifah Usman dan berlanjut sepanjang masa khalifah Ali dengan puncak
ketegangannya terjadi pada waktu perang Jamal dan perang Siffin.[3]
Kaum Khawarij, yang pada mulanya adalah penyokong Ali,
tetapi di kemudian hari berbalik menjadi musuhnya. Karena adanya perlawanan
dari golongan Khawarij ini, maka penyokong-penyokong yang tetap setia kepada Ali bertambah
keras dan fanatik dalam membela Ali, sehingga akhirnya munculah golongan
pendukung Ali yang dikenal dengan nama golongan Syi’ah. Kefanatikan golongan
ini terhadap Ali bertambah keras, terutama setelah Ali dibunuh oleh Muljam dari
golongan Khawarij.[4]
Kaum Khawarij dan Syi’ah, walaupun merupakan dua
golongan yang bermusuhan, namun mereka sama-sama menentang kekuasaan Banni
Umayyah, walaupun motifnya berlainan. Kalau golongan Khawarij menentang
kekuasaan Banni Umayyah, karena mereka menganggap bahwa Banni Umayyah telah
menyeleweng dari ajaran islam, maka golongan Syi’ah menentang Banni Umayyah
karena mereka menganggap Banni Umayyah telah merampas kekuasaan dari tangan Ali
dan keturunannya.[5]
Dalam suasana pertentangan seperti inilah maka timbul
suatu golongan baru yang ingin bersikap netral, tidak mau turut dalam praktek
kafir mengkafirkan, seperti yang dilakukan oleh kaum Khawarij dan Syi’ah.
Golongan inilah yang kemudian dikenal dengan nama golongan Murji’ah. [6]
Aliran Murji’ah muncul sebagai suatu reaksi atas sikap
yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang
melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan oleh aliran khawarij.
Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa Tahkim itu dihadapan
Tuhan, karena hanya Tuhanlah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian
pula orang mukmin yang melakukan dosa besar masih dianggap mukmin di hadapan
mereka. Orang mukmin yang melakukan dosa besar itu dianggap tetap mengakui
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Dengan kata
lain bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mengucapkan
dua kalimat syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang
tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir.[7]
C.
Perkembangan Murji’ah
Asas golongan Murji’ah tentang batasan
pengertian “Iman”. Menurut Ahlus Sunnah
bahwa iman itu terdiri dari tiga unsur yaitu membenarkan dengan hati,
mengikrarkan dengan lisan, dan menyertainya dengan amal perbuatan.[8]
Amin menerangkan:
“Kebanyakan
golongan Murji’ah berpendapat bahwa Iman ialah hanya membenarkan dengan hati
saja. Atau dengan kata lain iman ialah makrifat kepada Allah SWT. Dengan hati
bukan pengertian lahir. Apabila seseorang beriman dengan hatinya, maka ia
adalah mukmin dan muslim, sekalipun lahirnya dia menyerupai orang Yahudi atau Nasrani
dan meskipun lisannya tidak mengucapkan dua kalimat sahadat. Mengikrarkan
dengan lisan dan amal perbuatan seperti shalat, puasa dan sebagainya, itu bukan
bagian daripada iman.”
Ajaran
dan paham kaum Murji’ah, memberikan kesan bahwa amal perbuatan seseorang tidak
berarti atau tidak mempunyai nilai dalam kehidupan agama. Sehingga menimbulkan
keraguan dalam iman itu sendiri. Apalagi jika dibandingkan dengan kesederhanaan
iman yang telah diajarkan oleh Rasullullah Saw selama masa hidupnya. Meskipun realisasi konkritnya dalam kehidupan,
ajaran Murji’ah ini memberikan ruang lingkup kehidupan yang luas tidak terikat
oleh dogma dan sikap yang mudah mengkafirkan orang lain.[9]
Sikap
demikian itu mengaburkan atau sama sekali menghapuskan identitas manusia dan
kemanusiaan, sebagai akibat daripada ketetapan iman dalam hati tanpa kelanjutan
yang membuahkan amal. Orang tidak akan mampu mengetahui isi hati seseorang.
Jika manusia kehilangan isentitasnya berarti telah kehilangan kepribadiannya.
Mengenai pendapat bahwa iman tidak
mempunyai sifat bertambah dan berkurang, serta tidak ada perbedaan antara
manusia dalam hal iman; selain bertentangan dengan firman Allah yang artinya:[10]
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut (nama) Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila
dibacakan kepada mereka ayat-ayat Nya, bertambahlah imannya dan kepada Tuhanlah
mereka bertawakal”. (Al-Anfal:2)
Ayat
tersebut sudah jelas dan tegas menggambarkan bahwa iman itu dinamis dapat
tumbuh dan berkembang, demikian juga sebaliknya dapat berkurang dan hilang sama
sekali. Dalam kehidupan beragama kaum Murji’ah menunjukkan sifat yang optimis.
Sedangkan mengenai penangguhan hukum kepada Tuhan, kaum Murji’ah telah
menempatkan Tuhan pada posisiNYA sebagai khalik dengan sifat-sifat Kemaha
KuasaanNYA yang tidak dapat ditawar.[11]
Allah
telah memberikan peringatan dengan firmanNYA:
“Sesungguhnya
kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya. Kemudian Kami
kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya kecuali mereka yang beriman dan
mengerjakan amal shaleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.”
(At-Tin:4-6)
D.
Sekte-Sekte dalam aliran Murji’ah
1. Golongan Murji’ah yang Moderat
Golongan ini berpendapat bahwa orang
yang melakukan dosa besar bukanlah kafir dan tidak dalam neraka, tetapi akan
dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang ia lakukan, dan ada
kemungkinan Tuhan akan mengampuninya, sehingga mereka tidak akan masuk neraka
sama sekali.[12]
Jadi menurut golongan ini orang Islam
yang melakukan dosa besar itu masih tetap mukmin. Yang termasuk dalam golongan
ini antara lain: al-Hasan ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn Abi Thalib, Abu Hanifah,
Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadis lainnya.[13]
Abu Hanifah mengatakan iman ialah
pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, tentang Rosul-rosul-Nya dan tentang
segala yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan tidak dalam perincian.[14]
Menurut dia, iman itu tidak bertambah atau berkurang, dan tidak ada perbedaan
manusia dalam hal iman. Dari ucapan Abu Hanifa tersebut, jelaslah iman semua
orang Islam itu sama tidak ada perbedaan antara iman orang Islam yang berdosa
besar dan iman orang yang patuh dan taat menjalankan perintah-perintah Allah
dan menjauhi larangan-larangan-Nya.[15]
2. Golongan Murji’ah yang ekstrim
Yang
termasuk dalam golongan Murji’ah yang ekstrim ini antara lain:[16]
a. Golongan Al-Jahmiah. Mereka adalah pengikut Jahm
Ibn Shafwan. Golongan ini berpendapat bahwa orang Islam yang percaya kepada
Tuhan dan kemudian ia menyatakan kufur kepada Tuhan secara lisan, maka orang
tetsebut tidak menjadi kafir karenanya, sebab iman itu tepatnya didalam hati,
bukan dilidah atau tempat lain dari tubuh manusia. Bahkan apabila orang
tersebut melakukan penyembahan terhadap patting atau berhala, atau menyatakan
pada trinitas, kemudian orang tersebut meninggal dunia, maka orang tersebut
dalam pandangan Allah masih sebagai seorang mukmin yang sempurna imannya.
b. Golongan Al-Salihiah. Mereka adalah pengikut Abu
al-Hasan al-Salihi. Golongan ini berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan. Menurut mereka, shalat itu tidak
merupakan ibadah kepada Tuhan, karena yang disebut ibadah itu ialah beriman
kepada Tuhan, dalam arti mengetahui Tuhan.
c. Golonga Al-Yunusiyah. Golongan ini berpendapat
bahwa yang disebut iman itu hanyalah mengetahui Tuhan. Karena itu mereka
berkesimpulan bahwa melakukan perbuatan maksiat atau pekerjaan-pekerjaan jahat
itu tidak merusakkan iman seseorang.
d. Golongan Al-Ubaidiyah. Golongan ini berpenpendapat
bahwa jika seseorang meninggal dunia dalam keadaan beriman, maka dosa-dosa dari
perbuatan-perbuatan jahat mereka tidak akan merugikan mereka. Perbuatan jahat,
sedikit atau banyak, tidak merusakkan iman seseorang, dan demikian pula
sebaliknya perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan oleh seseorang yang
musyrik(tidak beriman), tidak akan mengubah kedudukannya sebagai orang yang
musyrik.
Paham-paham ekstrim seperti
dikemukakan diatas, muncul sebagai akibat dari pendapat yang mengatakan bahwa
hanya iman sajalah yang penting yang menentukan mukmin atau tidaknya seseorang.
Amal perbuatan tidak mempunyai pengaruh terhadap iman seseorang.[17]
Murji’ah golongan ekstrim inilah yang menyebabkan nama murjiah menjadi buruk
dan tidak disenangi oleh kebanyakan umat Islam.
Sebaliknya ajaran golongan Murji’ah
yang moderat dapat diterima oleh kebanyakan umat Islam, sehingga ajarannya itu
dapat diterima oleh Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah.[18]
E.
Doktrin-doktrin Murji’ah
Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya
bersumber dari gagasan atau doktrin irja
atau arja’a yang diaplikasikan dalam
banyak persoalan, baik persoalan politik maupun teologis. Dibidang politik,
doktrin irja diimplementasikan dengan
sikap politik netral atau nonblok. Yang hampir selalu di ekspresikan dengan
sikap diam. Itulah sebabnya, kelompok Murji’ah dikenal pula sebagai kelompok
bungkam.[19] Sikap ini akhirnya
berimplikasi begitu jauh sehingga membuat Murji’ah selalu diam dalam persoalan
politik.
Adapun dibidang teologi, doktrin irja dikembangkan Murji’ah ketika
menanggapi persoalan-persoalan teologis yang muncul saat itu. Pada perkembangan
berikutnya, persoalan-persoalan yang ditanggapinya menjadi semakin kompleks
sehingga mencakup iman, kufur, dosa besar dan ringan, tauhid, tafsir Al-Quran,
eskatologi, pengampunan atas dosa besar, kemaksuman nabi, hukuman atas dosa,
ada yang kafir di kalangan generasi awal Islam, taubat, hakekat al-Quran, nama
dan sifat Allah, serta ketentuan Tuhan.
Berkaitan dengan doktrin teologi
Murji’ah W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut :
1. Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah
hingga Allahmemutuskannya diakherat kelak.
2. Penangguhan Ali untuk menduduki ranking keempat
dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidun.
3. Pemberian harapan atau (giving of hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk
memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
4. Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (madzhab) para skeptis dan empiris dari
kalangan Helenis.
Masih berkaitan dengan doktrin teologi
Murji’ah, Harun Nasution menyebutkan empat ajaran pokoknya, yaitu:
1. Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash,
dan Abu Musa Al-Asy’ary yang terlibat tahkim
dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
2. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang
muslim yang berdosa besar.
3. Meletakkan (pentingnya) iman dari pada amal.
4. Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa
besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Sementara itu, Abu ‘A’ la Al-Maududi
menyebutkan dua doktrin pokok ajaran Murji’ah, yaitu:[20]
1. Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya
saja. Adapun amal atau perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya
iman. Berdasarkan hal ini, seseorang dianggap mukmin walaupun meninggalkan
perbuatan yang difardukan dan melakukan dosa besar.
2. Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih
ada iman dihati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan madarat ataupun
gangguan atas seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya
dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan, sebagai
berikut:
1. Nama
Murji’ah diambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan,
penangguhan dan pengharapan. Kata arja’a mengandung pula arti memberi harapan
yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan
rahmat Allah. Oleh karena itu, Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan
kedudukan seseorang yang bersengketa.
2. Ajaran
dan paham kaum Murji’ah, memberikan kesan bahwa amal perbuatan seseorang tidak
berarti atau tidak mempunyai nilai dalam kehidupan agama. Sehingga menimbulkan
keraguan dalam iman itu sendiri. Apalagi jika dibandingkan dengan kesederhanaan
iman yang telah diajarkan oleh Rasullullah Saw selama masa hidupnya. Meskipun realisasi konkritnya dalam
kehidupan, ajaran Murji’ah ini memberikan ruang lingkup kehidupan yang luas tidak
terikat oleh dogma dan sikap yang mudah mengkafirkan orang lain.
3. Sekte-sekte
Murji’ah dibagi menjadi dua, yaitu golongan Murji’ah yang moderat dan golongan
Murji’ah yang ekstrim.
4. Ajaran
pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja atau arja’a yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan
politik maupun teologis.
[7] Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf,
(Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada: 1993), hlm. 33
0 komentar:
Posting Komentar