Blogger news

Pages

persahabatan

sahabat adalah satu jiwa dalam dua tubuh. seperti oksigen dalam air (H2O), seperti hemoglobin dalam darah. banyak mantan pacar tapi tidak ada mantan sahabat.

Perjuangan

Jangan pernah menyerah jika kamu masih ingin mencoba. Jangan biarkan penyesalan datang karena kamu selangkah lagi tuk menang.(RA Kartini)

untukmu

Banyak hal yang bisa menjatuhkanmu. Tapi satu-satunya hal yang benar-benar dapat menjatuhkanmu adalah sikapmu sendiri.

perjuangan

Cobalah dulu, baru cerita. Pahamilah dulu, baru menjawab. Pikirlah dulu, baru berkata. Dengarlah dulu, baru beri penilaian. Bekerjalah dulu, baru berharap.

Llove

Love is more kinds, but what is very safe and a eternal is love which come from the door of sweetheart.

Tampilkan postingan dengan label cerita rakyat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerita rakyat. Tampilkan semua postingan

Senin, 03 Juni 2013

cerita dongeng daerah lampung si Bungsu

si Bungsu

Alkisah, di sebuah perkampungan di daerah Lampung, Indonesia, hiduplah sepasang suami-istri bersama dengan tujuh putrinya. Untuk menghidupi keluarganya, sang Ayah mencari kayu bakar di hutan dan menjualnya ke pasar. Namun, hasil yang diperoleh tidak cukup untuk mereka makan bersama. Mereka tidak pernah makan sampai kenyang. Agar bisa makan kenyang tanpa diganggu oleh anak-anaknya, sang Ayah dan sang Ibu sering menyisihkan makanan untuk mereka makan pada malam harinya, di saat ketujuh putrinya sedang tertidur lelap.

Pada suatu malam, sang Ayah dan sang Ibu sedang asyik menikmati makan malam berdua. Tanpa disadarinya, si Bungsu terbangun dan melihat mereka sedang makan. Si Bungsu pun segera membangunkan kakaknya yang sedang tertidur pulas.

“Kakak-kakak…!” ucap si Bungsu dengan pelan.

Keenam kakaknya pun terbangun. Saat melihat kedua orang tuanya makan, mereka pun ikut makan, sehingga membuat kedua orang tua mereka tidak kenyang. Hal itu membuat mereka kesal dan berniat untuk membuang ketujuh putrinya.

Pada suatu malam, sepasang suami-istri itu bermusyawarah untuk membuang ketujuh putrinya ke hutan yang jauh dari perkampungan. Namun, lagi-lagi si Bungsu terbangun dan mengetahui rencana mereka. Secara diam-diam, si Bungsu pun menyiapkan buah kemiri yang banyak untuk menandai jalan yang akan mereka tempuh saat menuju ke tengah hutan, sehingga ia bersama kakaknya dapat mengetahui jalan pulang ke rumah.

Keesokan harinya, sang Ayah dan sang Ibu mengajak ketujuh putrinya ke hutan dengan alasan untuk membantu mereka mencari kayu bakar. Setibanya di hutan, diam-diam sang Ayah meminta kawanan kera agar menyahut jika anak-anaknya memanggilnya, dan kepada kawanan burung pagut agar mematuk-matuk pohon agar anak-anak mereka mengira ayah dan ibunya masih berada di dalam hutan. Ketika ketujuh bersaudara itu sedang asyik mengumpulkan kayu bakar, sang Ayah mengajak istrinya untuk meninggalkan mereka secara diam-diam.

“Istriku! Ayo kita tinggal hutan ini selagi mereka sibuk mengumpulkan kayu bakar,” bisik sang Ayah ke istrinya.

Akhirnya, mereka meninggalkan hutan itu tanpa sepengetahuan ketujuh putrinya. Beberapa saat kemudian, terdengarlah suara ketujuh putrinya memanggil.

“Ayah… Ibu…! Kalian di mana?” teriak ketujuh anak itu serentak.

Mendengar teriakan itu, kawanan kera pun menyahut dan burung pugut mematuk-matuk pohon. Ketujuh anak itu pun kembali melanjutkan pekerjaannya, karena mengira ayah dan ibu mereka masih berada di hutan itu. Kawanan kera dan burung pagut tersebut terus menyahut dan mematuk pohon. Lama-kelamaan mereka pun kesal dan capek. Ketika ketujuh anak itu kembali berteriak memanggil kedua orang tua meraka, kawanan kera dan burung pagut tersebut hanya diam. Pada saat itulah, ketujuh anak tersebut menyadari bahwa kedua orang tua mereka telah pergi meninggalkan mereka. Anak yang sulung pun bingung, karena tidak mengetahui jalan pulang ke rumah.

“Adik-adikku! Apakah di antara kalian ada yang masih ingat jalan untuk pulang ke rumah?” tanya si Sulung.

“Saya, Kak!” sahut si Bungsu dengan sigap.

“Bagaimana mungkin kamu bisa mengingat jalan pulang, Bungsu? Bukankah hutan ini sangat lebat?” tanya si Sulung.

“Tenang, Kak! Adik sudah menandai jalan dari rumah sampai ke hutan ini dengan kemiri. Kita tinggal mengikuti arah kemiri yang bertebaran di jalan yang telah kita lalui,” ujar si Bungsu.

“Wah… kamu memang cerdas, Adikku!” puji si Sulung sambil tersenyum.

Ketujuh anak itu pun menyusuri jalan yang telah ditandai dengan kemiri oleh si Bungsu. Akhirnya, mereka pun sampai di rumah. Ketika masuk ke rumah, mereka mendapati kedua orang tua mereka sedang makan. Tanpa diajak, mereka segera ikut makan, sehingga kedua orang tuanya kembali merasa tidak kenyang. Sang Ayah dan sang Ibu pun bertambah kesal. Kehadiran ketujuh putrinya tersebut benar-benar membuat mereka resah.

Beberapa hari kemudian, pasangan suami-istri itu kembali berencana untuk membuang ketujuh putrinya ke tengah hutan. Namun, rencana mereka kembali diketahui oleh putri bungsunya. Ketika mereka berangkat ke hutan, si Bungsu membawa biji jagung untuk menandai jalan yang mereka lalui. Sesampainya di hutan, seperti biasanya kawanan kera menyahut-nyahut dan burung pagut mematuk-matuk pohon, dan pada saat itulah sang Ayah dan sang Ibu meninggalkan anak-anaknya.

Ketika ketujuh bersaudara itu kembali berteriak memanggil kedua orang tuanya, kawanan kera dan burung pagut tersebut hanya diam. Akhirnya, ketujuh anak itu sadar bahwa orang tua mereka telah meninggalkan mereka. Namun sial bagi ketujuh anak tersebut, mereka tidak mengetahui jalan pulang ke rumah, karena biji jagung yang telah ditebar oleh si Bungsu di jalan habis dimakan burung. Akhirnya mereka pun tersesat di tengah hutan.

Ketujuh anak bersaudara tersebut berjalan mengikuti ke mana arah kaki mereka melangkah. Setelah beberapa lama berjalan, mereka pun sampai di sebuah ladang yang dihuni oleh dua raksasa suami-istri. Saat itu, mereka melihat kedua raksasa itu sedang mandi di sungai yang terletak di pinggir ladang.

“Hai, tampaknya raksasa itu jahat. Mereka pasti akan memangsa kita jika melihat kita ada di sini,” kata si Sulung.

“Apa yang harus kita lakukan?” tanya anak yang kedua.

“Tenang, Kak! Adik punya cara untuk menaklukkan raksasa itu,” sahut si Bungsu.

“Bagaimana caranya, Bungsu?” tanya si Sulung.

‘Adik akan membuat air sungai itu menjadi gatal dengan kolang-kaling, sehingga tubuh kedua raksasa itu akan terasa gatal-gatal. Ketika itu, mereka pasti akan berlari ke gubuknya. Tapi sebelumnya, kalian harus melepas tali gubuk itu dan membuat perapian di bawahnya. Nah, ketika kedua rakasa itu  menaiki gubuk itu, mereka pasti akan jatuh ke dalam api,” jelas si Bungsu.

Setelah mendengar petunjuk si Bungsu, keenam kakaknya itu segera melepas tali gubuk itu dan membuat perapian di bawahnya. Setelah mereka selesai menjalankan tugas, si Bungsu segera mengambil kolang-kaling lalu menggosok-gosokkannya di hulu sungai. Tak berapa lama kemudian, kedua raksasa yang sedang asyik mandi tersebut tiba-tiba merasakan tubuhnya gatal-gatal. Karena tidak tahan menahan rasa gatal, mereka pun berlari menuju ke gubuknya. Tak ayal lagi, ketika menaiki gubuknya, mereka pun terjatuh ke dalam perapian hingga tewas.

Akhirnya, ketujuh anak bersaudara itu pun memutuskan untuk tinggal di daerah itu. Mereka membuat tujuh gubuk dan membagi ladang milik raksasa itu menjadi tujuh bagian. Mereka menanam padi dan bunga-bunga yang harum baunya di ladang masing-masing. Saat tanaman bunga mereka berbunga, ladang mereka kerap didatangi oleh kenui (sejenis burung elang yang berbadan besar). Burung itu ingin membuat sarang dan bertelur di ladang mereka. Dari ketujuh bersaudara tersebut, hanya si Bungsu yang mengizinkan burung itu bersarang di ladang bunganya. Mendapat izin dari si Bungsu, kenui pun segera membuat sarang. Setelah bertelur, burung kenui itu pergi dan tidak pernah kembali lagi.

Pada suatu hari, sepulang dari ladangnya, si Bungsu melihat asap mengepul di dalam gubuknya. Alangkah terkejutnya ia ketika masuk ke dalam gubuknya. Ia melihat seorang pemuda tampan sedang menanak nasi untuknya.

“Maaf, Tuan! Anda siapa dan berasal dari mana?” tanya si Bungsu.

Pemuda itu pun menceritakan asal-usulnya bahwa dirinya keluar dari telur kenui. Akhirnya, mereka pun berkenalan dan saling menyukai. Beberapa bulan kemudian, mereka menikah dan hidup bahagia. Rupanya, pernikahan si Bungsu dengan pemuda itu membuat keenam saudaranya iri dan berniat untuk mencelakai adiknya.

Pada suatu hari, ketika si Bungsu sedang mencuci pakaian di tepi sungai, keenam saudaranya mendorongnya ke sungai. Si Bungsu pun hanyut terbawa arus dan kemudian ditelan oleh seekor ikan besar. Karena kekenyangan, ikan besar itu beristirahat di tepi sungai. Pada saat itu, seorang nenek yang sedang mandi di tepi sungai melihatnya. Tanpa berpikir panjang, sang Nenek pun segera mengambil goloknya dan menghujamkannya ke tubuh ikan itu. Sungguh ajaib, goloknya tidak dapat melukainya. Karena kesal, sang Nenek pun beristirahat di bawah sebuah pohon sambil berpikir mencari cara agar bisa menangkap ikan itu. Saat sedang asyik beristirahat, tiba-tiba ia mendengar seekor burung bernyanyi.

“Bolidang bolidangi pabeli iwa balak,” demikian nyanyian burung itu.

Mulanya, sang Nenek tidak mengerti arti syair lagu yang dinyanyikan burung itu. Setelah menyimak secara seksama, akhirnya ia pun mengerti bahwa untuk memotong ikan itu harus menggunakan daun belidang. Tanpa berpikir panjang, sang Nenek segera mengambil daun belidang yang banyak terdapat di tepi sungai. Dengan daun belidang itu, ia pun berhasil memotong-motong daging ikan itu. Betapa terkejutnya ia ketika melihat seorang gadis cantik yang masih hidup keluar dari tubuh ikan itu.

“Hai, Gadis cantik! Kamu siapa dan kenapa bisa berada di perut ikan ini?” tanya nenek itu heran.

Si Bungsu pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga ia bisa berada dalam perut ikan itu. Sang Nenek sangat terharu mendengar cerita si Bungsu. Karena iba, sang Nenek pun menjadikan si Bungsu sebagai anak angkatnya. Sejak itu, si Bungsu tinggal bersama nenek itu.

Sementara itu di tempat lain, suami si Bungsu kebingungan mencari istrinya. Ia sudah menanyai keenam saudara istrinya, namun tak seorang pun yang mau memberitahukan keberadaan istrinya. Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi mencari istrinya dengan menyusuri tepi sungai. Setelah berbulan-bulan berjalan, akhirnya ia menemukan sebuah gubuk di tepi sungai. Ia pun menghampiri gubuk itu untuk menanyakan keberadaan istrinya kepada si pemilik gubuk.

“Permisi, apakah ada orang di dalam?” teriak suami si Bungsu dari luar gubuk.

Tak berapa lama kemudian, tampaklah seorang nenek sedang membuka pintu. Setelah pintu terbuka, nenek itu bertanya kepadanya.

“Ada yang bisa Nenek bantu, Anak Muda?” tanya nenek itu.

Suami si Bungsu pun menceritakan tentang pengembaraannya mencari istrinya yang hilang. Si Bungsu yang mendengar cerita itu dari dalam gubuk menitikkan air mata, karena terharu melihat kesetiaan suaminya. Nenek itu kemudian memberitahu kepada laki-laki itu bahwa di dalam gubuknya ada seorang wanita cantik yang ditemukan dari perut ikan besar beberapa bulan yang lalu.

“Anak Muda! Nenek mempunyai seorang wanita cantik di dalam gubuk ini. Cobalah lihat, barangkali dialah istrimu yang kamu cari itu!” ujar nenek itu.

Sang Nenek pun memanggil si Bungsu agar keluar dari gubuk. Alangkah terkejut dan bahagianya laki-laki itu saat melihat wanita yang keluar dari gubuk itu adalah istrinya. Tanpa ragu-ragu, ia pun segera memeluk istrinya, dan si Bungsu pun membalas pelukan suaminya dengan erat. Sesaat, suasana di gubuk itu menjadi hening. Tak terasa, air mata si Nenek pun bercucuran karena terharu melihat anak angkatnya bisa bertemu kembali dengan suaminya. Begitu pula suami si Bungsu, ia sangat bahagia karena telah menemukan kembali istrinya. Sebelum membawa pulang istrinya, suami si Bungsu tidak lupa berterima kasih kepada si Nenek, karena telah menyelamatkan nyawa istrinya.

“Terima kasih, Nek! Nenek telah merawat istriku dengan baik,” ucap suami si Bungsu.

Setelah itu, sepasang suami-istri itu berpamitan kepada si Nenek. Sesampainya mereka di gubuk, keenam kakaknya datang meminta maaf kepada si Bungsu. Si Bungsu memaafkan mereka, karena sejak awal ia tidak pernah merasa dendam, meskipun keenam kakaknya telah mencelakainya. Sejak itu, si Bungsu hidup berbahagia bersama suaminya dan hidup rukun bersama keenam kakaknya.

***

Demikianlah cerita rakyat berjudul Si Bungsu. Dongeng anak tersebut memberi kita pelajaran bahwa sifat pemaaf dapat menjaga kerukunan dan menjauhkan munculnya bibit permusuhan antar-sesama. Hal ini tampak pada sikap si Bungsu yang dengan rendah hati dan ikhlas mau memaafkan keenam kakaknya yang telah mengianiayanya. Semoga bermanfaat.

Jumat, 17 Mei 2013

cerita rakyat jawa timur (calon Arang)


calon arang

Pada suatu masa di Kerajaan Daha yang dipimpin oleh raja Erlangga, hidup seorang janda yang sangat bengis. Ia bernama Calon Arang. Ia tinggal di desa Girah. Calon Arang adalah seorang penganut sebuah aliran hitam, yakni kepercayaan sesat yang selalu mengumbar kejahatan memakai ilmu gaib.

Ia mempunyai seorang putri bernama Ratna Manggali. Karena puterinya telah cukup dewasa dan Calon Arang tidak ingin Ratna Manggali tidak mendapatkan jodoh, maka ia memaksa beberapa pemuda yang tampan dan kaya untuk menjadi menantunya. Karena sifatnya yang bengis, Calon Arang tidak disukai oleh penduduk Girah. Tak seorang pemuda pun yang mau memperistri Ratna Manggali. Hal ini membuat marah Calon Arang. Ia berniat membuat resah warga desa Girah.

“Kerahkan anak buahmu! Cari seorang anak gadis hari ini juga! Sebelum matahari tenggelam anak gadis itu harus dibawa ke candi Durga!“ perintah Calon Arang kepada Krakah, seorang anak buahnya. Krakah segera mengerahkan cantrik-cantrik Calon Arang untuk mencari seorang anak gadis. Suatu perkerjaan yang tidak terlalu sulit bagi para cantrik Calon Arang.

Sebelum matahari terbit, anak gadis yang malang itu sudah berada di Candi Durga. Ia meronta-ronta ketakutan. “Lepaskan aku! Lepaskan aku!“ teriaknya. Lama kelamaan anak gadis itu pun lelah dan jatuh pingsan. Ia kemudian di baringkan di altar persembahan. Tepat tengah malam yang gelap gulita, Calon Arang mengorbankan anak gadis itu untuk dipersembahkan kepada Betari Durga, dewi angkara murka.


Kutukan Calon Arang menjadi kenyataan. “Banjir! Banjir!“ teriak penduduk Girah yang diterjang aliran sungai Brantas. Siapapun yang terkena percikan air sungai Brantas pasti akan menderita sakit dan menemui ajalnya. “He, he... siapa yang berani melawan Calon Arang ? Calon Arang tak terkalahkan!” demikian Calon Arang menantang dengan sombongnya. Akibat ulah Calon Arang itu, rakyat semakin menderita. Korban semakin banyak. Pagi sakit, sore meninggal. Tidak ada obat yang dapat menanggulangi wabah penyakit aneh itu..

“Apa yang menyebabkan rakyatku di desa Girah mengalami wabah dan bencana ?” Tanya Prabu Erlangga kepada Paman Patih. Setelah mendengar laporan Paman Patih tentang ulah Calon Arang, Prabu Erlangga marah besar. Genderang perang pun segera ditabuh. Maha Patih kerajaan Daha segera menghimpun prajurit pilihan. Mereka segera berangkat ke desa Girah untuk menangkap Calon Arang. Rakyat sangat gembira mendengar bahwa Calon Arang akan ditangkap. Para prajurit menjadi bangga dan merasa tugas suci itu akan berhasil berkat doa restu seluruh rakyat.

Prajurit kerajaan Daha sampai di desa kediaman Calon Arang. Belum sempat melepaskan lelah dari perjalanan jauh, para prajurit dikejutkan oleh ledakan-ledakan menggelegas di antara mereka. Tidak sedikit prajurit Daha yang tiba-tiba menggelepar di tanah, tanpa sebab yang pasti.

Korban dari prajurit Daha terus berjatuhan. Musuh mereka mampu merobohkan lawannya dari jarak jauh, walaupun tanpa senjata. Kekalahan prajurit Daha membuat para cantrik, murid Calon Arang bertambah ganas.

“Serang! Serang terus!” seru para cantrik. Pasukan Daha porak poranda dan lari pontang-panting menyelamatkan diri. Prabu Erlangga terus mencari cara untuk mengalahkan Calon Arang. Untuk mengalahkan Calon Arang, kita harus menggunakan kasih saying”, kata Empu Barada dalam musyawarah kerajaan. “Kekesalan Calon Arang disebabkan belum ada seorang pun yang bersedia menikahi puteri tunggalnya.“


Empu Barada meminta Empu Bahula agar dapat membantu dengan tulus untuk mengalahkan Calon Arang. Empu Bahula yang masih lajang diminta bersedia memperistri Ratna Manggali. Dijelaskan, bahwa dengan memperistri Ratna Manggali, Empu Bahula dapat sekaligus memperdalam dan menyempurnakan ilmunya.

Akhirnya rombongan Empu Bahula berangkat ke desa Girah untuk meminang Ratna Manggali. “He he … aku sangat senang mempunyai menantu seorang Empu yang rupawan.” Calon Arang terkekeh gembira.

Maka, diadakanlah pesta pernikahan besar-besaran selama tujuh hari tujuh malam. Pesta pora yang berlangsung itu sangat menyenangkan hati Calon Arang. Ratna Manggali dan Empu Bahula juga sangat bahagia. Mereka saling mencintai dan mengasihi. Pesta pernikahan telah berlalu, tetapi suasana gembira masih meliputi desa Girah. Empu Bahula memanfaatkan saat tersebut untuk melaksanakan tugasnya.


Di suatu hari, Empu Bahula bertanya kepada istrinya, “Dinda Manggali, apa yang menyebabkan Nyai Calon Arang begitu sakti?“ Ratna Manggali menjelaskan bahwa kesaktian Nyai Calon Arang terletak pada Kitab Sihir. Melalui buku itu, ia dapat memanggil Betari Durga. Kitab sihir itu tidak bisa lepas dari tangan Calon Arang, bahkan saat tidur, Kitab sihir itu digunakan sebagai alas kepalanya.

Empu Bahula segera mengatur siasat untuk mencuri Kitab Sihir. Tepat tengah malam, Empu Bahula menyelinap memasuki tempat peraduan Calon Arang. Rupanya Calon Arang tidur terlalu lelap, karena kelelahan setelah selama tujuh hari tujuh malam mengumbar kegembiraannya. Empu Bahul berhasil mencuri Kitab sihir Calon Arang dan langsung diserahkan ke Empu Baradah. Setelah itu, Empu Bahula dan istrinya segera mengungsi.


Calon Arang sangat marah ketika mengetahui Kitab sihirnya sudah tidak ada lagi, ia bagaikan seekor badak yang membabi buta. Sementara itu, Empu Baradah mempelajari Kitab sihir dengan tekun. Setelah siap, Empu Baradah menantang Calon Arang. Sewaktu menghadapi Empu Baradah, kedua belah telapak tangan Calon Arang menyemburkan jilatan api, begitu juga kedua matanya. Empu Baradah menghadapinya dengan tenang. Ia segera membaca sebuah mantera untuk mengembalikan jilatan dan semburan api ke tubuh Calon Arang. Karena Kitab sihir sudah tidak ada padanya, tubuh Calon Arang pun hancur menjadi abu dan tertiup kencang menuju ke Laut Selatan. Sejak itu, desa Girah menjadi aman tenteram seperti sediakala.


Moral : Calon Arang merupakan contoh seorang yang memiliki sifat pemarah dan tidak dapat menguasai nafsunya. Hendaknya seseorang tidak memaksakan kehendaknya pada orang lain dan tidak melakukan sesuatu hal yang dibenci orang lain. Karena pemaksaan kehendak akan berakibat buruk bagi diri sendiri.

legenda batu menangis

Legenda Batu Menangis (Cerita Rakyat Kalimantan )
Disebuah bukit yang jauh dari desa, didaerah Kalimantan hiduplah seorang janda miskin dan seorang anak gadisnya.
Anak gadis janda itu sangat cantik jelita. Namun sayang, ia mempunyai prilaku yang amat buruk. Gadis itu amat pemalas, tak pernah membantu ibunya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah. Kerjanya hanya bersolek setiap hari.
Selain pemalas, anak gadis itu sikapnya manja sekali. Segala permintaannya harus dituruti. Setiap kali ia meminta sesuatu kepada ibunya harus dikabulkan, tanpa memperdulikan keadaan ibunya yang miskin, setiap hari harus membanting tulang mencari sesuap nasi.

Pada suatu hari anak gadis itu diajak ibunya turun ke desa untuk berbelanja. Letak pasar desa itu amat jauh, sehingga mereka harus berjalan kaki yang cukup melelahkan. Anak gadis itu berjalan melenggang dengan memakai pakaian yang bagus dan bersolek agar orang dijalan yang melihatnya nanti akan mengagumi kecantikannya. Sementara ibunya berjalan dibelakang sambil membawa keranjang dengan pakaian sangat dekil. Karena mereka hidup ditempat terpencil, tak seorangpun mengetahui bahwa kedua perempuan yang berjalan itu adalah ibu dan anak.
Ketika mereka mulai memasuki desa, orang-orang desa memandangi mereka. Mereka begitu terpesona melihat kecantikan anak gadis itu, terutama para pemuda desa yang tak puas-puasnya memandang wajah gadis itu. Namun ketika melihat orang yang berjalan dibelakang gadis itu, sungguh kontras keadaannya. Hal itu membuat orang bertanya-tanya.
Di antara orang yang melihatnya itu, seorang pemuda mendekati dan bertanya kepada gadis itu, “Hai, gadis cantik. Apakah yang berjalan dibelakang itu ibumu?”
Namun, apa jawaban anak gadis itu ?
“Bukan,” katanya dengan angkuh. “Ia adalah pembantuku !”
Kedua ibu dan anak itu kemudian meneruskan perjalanan. Tak seberapa jauh, mendekati lagi seorang pemuda dan bertanya kepada anak gadis itu.
“Hai, manis. Apakah yang berjalan dibelakangmu itu ibumu?”
“Bukan, bukan,” jawab gadis itu dengan mendongakkan kepalanya. ” Ia adalah budakk!”
Begitulah setiap gadis itu bertemu dengan seseorang disepanjang jalan yang menanyakan perihal ibunya, selalu jawabannya itu. Ibunya diperlakukan sebagai pembantu atau budaknya.
Pada mulanya mendengar jawaban putrinya yang durhaka jika ditanya orang, si ibu masih dapat menahan diri. Namun setelah berulang kali didengarnya jawabannya sama dan yang amat menyakitkan hati, akhirnya si ibu yang malang itu tak dapat menahan diri. Si ibu berdoa.
“Ya Tuhan, hamba tak kuat menahan hinaan ini. Anak kandung hamba begitu teganya memperlakukan diri hamba sedemikian rupa. Ya, tuhan hukumlah anak durhaka ini ! Hukumlah dia….”
Atas kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa, perlahan-lahan tubuh gadis durhaka itu berubah menjadi batu. Perubahan itu dimulai dari kaki. Ketika perubahan itu telah mencapai setengah badan, anak gadis itu menangis memohon ampun kepada ibunya.
” Oh, Ibu..ibu..ampunilah saya, ampunilah kedurhakaan anakmu selama ini. Ibu…Ibu…ampunilah anakmu..” Anak gadis itu terus meratap dan menangis memohon kepada ibunya. Akan tetapi, semuanya telah terlambat. Seluruh tubuh gadis itu akhirnya berubah menjadi batu. Sekalipun menjadi batu, namun orang dapat melihat bahwa kedua matanya masih menitikkan air mata, seperti sedang menangis. Oleh karena itu, batu yang berasal dari gadis yang mendapat kutukan ibunya itu disebut ” Batu Menangis “.

Demikianlah cerita berbentuk legenda ini, yang oleh masyarakat setempat dipercaya bahwa kisah itu benar-benar pernah terjadi. Barang siapa yang mendurhakai ibu kandung yang telah melahirkan dan membesarkannya, pasti perbuatan laknatnya itu akan mendapat hukuman dari Tuhan Yang Maha Kuasa

Versi lain

Kelahiran Putri dan Wulan yang berbeda setengah jam telah memiliki pertanda dari alam. Putri lahir ditengah cuaca yang mendadak berubah begitu buruk, sementara adiknya muncul saat cuaca membaik.

Setelah keduanya mulai tumbuh, barulah kelihatan perbedaan yang mencolok. Wulan berakhlak lembut, penyabar, dan pengasih sementara si sulung Putri berwatak buruk nan mencemaskan.

Kuatir dengan keadaan tersebut, Awang dan Sari memasukkan Putri ke sebuah pesantren dengan harapan anaknya bisa berubah. Sayang, perilaku Putri justru malah semakin menjadi tanpa bisa dikendalikan pemilik dan pengasuh pesantren.

Puncaknya terjadi saat Awang mengunjungi putri suluangnya, keteledoran Putri membuat gudang dimana ia biasa bermalas-malasan terbakar. Putri sendiri selamat, namun sang ayah yang berjibaku menyelamatkan buah hatinya harus mengalami cacat fisik permanen.

Takut bakal dihukum akibat perbuatannya, Putri melarikan diri dari pesantren dan jatuh ke perangkat Julig, seorang dukun yang ingin mencari tumbal kepala seorang bocah.

Rupanya, tumbal tersebut bakal digunakan untuk pembangunan sebuah resort di pinggir pantai yang dikelola Darwin seorang konglomerat. Beruntung, muncul pasangan jin penghuni hutan tepi pantai Ranggada dan Sugari yang menyelamatkan Putri sekaligus membunuh Julig dan Darwin.

Saat Awang dan Sari dibuat bingung mencari keberadaannya hingga menghabiskan banyak biaya, Putri malah hidup bersenang-senang di istana jin Ranggada dan Sugari dengan pekerjaan sebagai pendamping anak tunggal mereka Elok.

Sayangnya biarpun sudah dimanjakan oleh kedua orangtua angkatnya, kelakuan buruk Putri yang telah mendarah-daging tidak bisa hilang. Akhirnya suami-istri jin Ranggada dan Sugari sudah tidak tahan lagi, mereka mengusir Putri keluar dari istana jin.

Setelah sempat terlunta-lunta dan nyaris diperkosa pemuda berandal, Putri dipertemukan juga dengan Awang dan Sari serta adiknya Wulan. Pertemuan tersebut berlangsung mengharukan karena mereka telah berpisah selama lebih dari 10 tahun.

Lagi-lagi suasana tentram hanya berlangsung sesaat, Putri kembali berfoya-foya karena sudah terbiasa bergelimang kemewahan tanpa perduli dengan orangtuanya yang sudah terancam bangkrut.

Sikapnya terhadap keluarga juga sangat buruk. Selain memperlakukan Wulan dan sang ibu seperti pembantu, Putri juga melecehkan sang ayah yang cacat. Bahkan, Awang yang berusaha membela Wulan malah dicelakai Putri, yang tidak menunjukkan penyesalan sedikit pun, hingga menemui ajalnya.

Di tengah kekacauan hidup dan ekonomi keluarga yang semakin morat-marit, apa yang harusnya terjadi tidak bisa dihindari lagi. Sang ibu akhirnya kehilangan kesabaran melihat kelakuan Putri. Yang lebih fatal, kemarahan kali ini jauh lebih parah daripada suami-istri jin Ranggada dan Sugari.

Tanpa sadar sang ibu mengucapkan sumpah atau kutuk. Akibatnya, Putri langsung menjadi sebuah patung batu yang terus mengucurkan air bening dari sepasang mata batunya. Konon, air itu adalah air mata dari penyesalan Putri yang sayangnya datang terlambat